PASIR DAN BATU PASIR
Di Indonesia, terdapat berbagai jenis pasir dan batu pasir yang memiliki karakteristik dan kegunaan yang berbeda. Berikut adalah beberapa informasi mengenai jenis-jenis pasir dan batu pasir di Indonesia:
Jenis Pasir:
- Pasir Kuarsa: Pasir ini terutama terdiri dari kuarsa dan sering digunakan dalam industri konstruksi, pembuatan kaca, dan produksi semen
- Pasir Silika: Pasir ini memiliki kandungan silika yang tinggi dan digunakan dalam pembuatan kaca, keramik, dan bahan kimia.
- Pasir Sungai: Pasir yang diperoleh dari sungai dan sering digunakan dalam konstruksi, pembuatan beton, dan reklamasi pantai.
Jenis Batu Pasir:
- Batu Pasir Kuarsa: Batu pasir ini terutama terdiri dari kuarsa dan feldspar, dan sering digunakan dalam industri konstruksi dan pembuatan keramik
- Batu Pasir Silika: Batu pasir ini memiliki kandungan silika yang tinggi dan digunakan dalam pembuatan kaca, bahan kimia, dan industri metalurgi
- Batu Pasir Sungai: Batu pasir yang terbentuk dari endapan sungai dan sering digunakan dalam konstruksi dan pembuatan beton.
TINJAUAN UMUM
Batupasir (sandstone) merupakan suatu kategori batuan sedimen yang penting. Batupasir membentuk sekitar 1/4 volume batuan sedimen, belum termasuk pasir karbonat (carbonate sand) dan pasir vulkanik (volcanic sand). Selain volumenya, pasir dan batupasir juga memiliki kebenaan tersendiri karena sebagian pasir dan batupasir merupakan sumberdaya ekonomi: (1) sebagai material abrasif; (2) sebagai bahan dasar dalam industri kimia, gelas, dan metalurgi; (3) sebagai bahan bangunan, baik sebagai batu yang langsung digunakan dalam pembangunan maupun sebagai bahan campuran tembok dan beton; (4) sebagai molding sand, paper filler, dsb. Pasir juga merupakan reservoar yang penting untuk minyakbumi, gasbumi, dan air tanah. Sebagian pasir plaser merupakan sumber mineral bijih dan batu mulia. Erosi dan pengendapan pasir memegang peranan penting dalam dunia rekayasa di wilayah pantai, sungai, dan gumuk.
Batupasir relatif lebih banyak memberikan sumbangan pengetahuan mengenai sejarah bumi dibanding jenis-jenis batuan lain. Komposisinya menjadi petunjuk provenansi, struktur terarah yang ada didalamnya banyak memberikan informasi mengenai arus purba, sedangkan geometri dan struktur internalnya memberikan informasi penting mengenai lingkungan pengendapan.
Pasir dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama: (1) pasir terigen (terrigeneous sand); (2) pasir karbonat (carbonate sand); dan (3) pasir piroklastik (pyroclastic sand).
Pasir terigen adalah pasir yang terbentuk akibat pelapukan dan penghancuran batuan tua. Pasir itu diangkut, dipilah, dan diubah oleh aliran fluida (air atau udara) serta berasal dari daerah sumber yang terletak di luar cekungan pengendapannya.
Sebagian besar pasir karbonat merupakan endapan bahari dan terutama disusun oleh rangka binatang, oolit, serta intraklas yang terbentuk pada tempat yang relatif berdekatan dengan lokasi pengendapannya (partikel intraformasional). Material penyusun pasir karbonat terbentuk dalam cekungan pengendapan serta bukan merupakan material rombakan yang merupakan produk penghancuran batuan tua. Salah satu pengecualian untuk itu adalah partikel-partikel karbonat yang terbentuk akibat erosi yang sangat cepat pada paket batugamping dalam suatu sabuk orogen. Pasir karbonat yang disusun oleh partikel-partikel yang disebut terakhir ini pada dasarnya merupakan pasir terigen yang berasal dari batugamping dan dolomit tua.
Pasir piroklastik adalah pasir yang terbentuk akibat letusan gunungapi. Pasir piroklastik dapat diendapkan dalam lingkungan yang beragam, baik lingkungan terestris maupun lingkungan akuatis. Istilah vulkaniklastik (volcaniclastic) juga diterapkan pada sebagian pasir, yakni pasir yang kaya akan material vulkanik. Pasir vulkaniklastik dapat berupa pasir piroklastik maupun pasir terigen (jika berasal dari volcanic terrane).
Tipe suatu pasir akan menjadi sukar untuk ditentukan apabila pasir itu mengandung material yang asal-usulnya beragam. Pada pasir seperti itu, material piroklastik bisa bercampur dengan material terigen dan karbonat dalam proporsi yang bervariasi.
Pada bab ini kita hanya akan membahas tentang pasir terigen. Pasir karbonat, setelah mengalami litifikasi, umumnya akan dimasukkan ke dalam kategori batugamping, meskipun batuan itu sebenarnya merupakan salah satu spesies batupasir. Batupasir karbonat akan dibahas pada Bab 10. Pasir piroklastik umumnya dianggap sebagai batuan beku. Walau demikian, pasir piroklastik juga sebenarnya layak untuk dimasukkan ke dalam kategori batuan sedimen.
PASIR MASA KINI
Pengetahuan kita mengenai batupasir akan meningkat apabila kita memiliki pengetahuan yang mantap mengenai pasir masa kini, khususnya mengenai cara pembentukan dan pengakumulasiannya.
Dimana pasir ditemukan pada masa sekarang? Dengan pengecualian untuk pasir karbonat dan pasir piroklastik, pasir terutama ditemukan di sungai dan pesisir. Dalam jumlah yang lebih sedikit, pasir juga ditemukan pada gumuk dan laut dangkal. Pasir aluvial mencakup pasir yang ditemukan pada kipas aluvial, alur sungai, dataran banjir, delta danau, dan delta laut. Sebagian besar pasir sungai berasosiasi dengan alur sungai, meskipun sebagian diantaranya dapat keluar dari alur dan mem-bentuk endapan limpah banjir pada dataran banjir. Pasir pesisir tidak hanya mencakup gisik, namun juga gosong lepas pantai, delta pasut, dan (pada beberapa kasus) pasir dataran pasut. Pasir eolus mencakup gumuk pantai dan medan gumuk di gurun. Pasir laut umumnya berupa pasir paparan. Walau demikian, sebagian pasir diangkut melewati tepi paparan oleh arus turbid untuk kemudian diendapkan pada tonjolan benua serta lekukan-lekukan terisolasi yang ada di laut-dalam.
Pendeknya, tidak ada daerah geomorfologi di muka bumi ini yang tidak ditempati oleh pasir. Cekungan laut-dalam, meskipun merupakan daerah geomorfologi yang paling luas di muka bumi ini, hampir tidak mengandung pasir. Pasir dalam cekungan itu hanya berupa partikel-partikel hasil hembusan angin serta pasir turbidit tipis yang tersebar pada daerah yang relatif dekat dengan benua. Pendeknya, pasir merupakan sedimen kontinental; sebagian besar berasal dari wilayah benua dan diendapkan pada wilayah benua.
Perlu dijelaskan disini bahwa tempat-tempat akumulasi pasir yang paling umum pada masa sekarang bersifat linier (gisik dan sungai). Walau demikian, sebagian pasir purba membentuk endapan stratiform yang tersebar luas. Perbedaan antara lokasi pengendapan pasir masa kini yang umumnya bersifat linier dengan pasir purba yang memperlihatkan penyebaran yang luas mengindikasikan bahwa tubuh pasir yang memiliki penyebaran luas merupakan produk pergeseran lokasi pengendapan dari waktu ke waktu, akibat migrasi sungai pada arah lateral, atau akibat transgresi dan regresi garis pantai. Penyebaran pasir yang demikian luas di wilayah paparan mungkin merupakan pengecualian untuk “aturan” di atas. Walau demikian, pasir paparan mungkin merupakan pasir sisa (relict sand); mungkin merupakan endapan fluvial yang terbentuk pada saat posisi muka air laut relatif rendah pada jaman es (Emery, 1966). Medan gumuk yang dewasa ini terlihat memiliki penyebaran demikian luas agaknya kurang terepresentasikan dalam rekaman geologi. Namun, jika Kuenen (1959a) benar dalam meyakini bahwa pembundaran pasir kuarsa merupakan hasil aksi angin, maka banyak pasir dalam rekaman geologi pernah berperan sebagai pasir eolus selama sejarah pengendapannya. Kuenen memperkirakan bahwa 2 x 106 km2 gurun diperlukan untuk mencapai kebundaran rata-rata pasir yang ada di dunia ini dan jika kebundaran itu bersifat konstan. Angka itu diperlukan untuk mengkompensasikan munculnya partikel-partikel pasir yang menyudut setiap tahunnya.
Tidak semua lingkungan pengendapan pasir terepresentasikan secara seimbang dalam rekaman geologi. Dalam endapan Paleozoikum di bagian tengah Pegunungan Appalachia, dimana pasir membentuk sektiar 23% total penampang stratigrafi di daerah itu (Colton, 1970), diperkirakan bahwa setengahnya atau lebih dari setengahnya merupakan endapan sungai, sekitar 1/4 diantaranya merupakan turbidit bahari, dan sisanya merupakan endapan litoral dan laut-dangkal. Tidak satupun diantara pasir itu yang merupakan endapan eolus.
Pasir masa kini, dengan beberapa pengecualian, merupakan material yang terpilah baik hingga terpilah sedang. Selain itu, dengan pengecualian untuk pasir yang berasal dari pasir tua yang sangat matang, pasir masa kini umumnya tidak membundar. Banyak ahli telah mencoba untuk mengaitkan tekstur pasir dengan lingkungan dan/atau agen pengendapan. Sebagai contoh, banyak penelitian dilakukan untuk membedakan pasir gisik, pasir gumuk, dan pasir sungai dengan menggunakan beberapa parameter besar butir atau nisbah beberapa parameter besar butir (Friedman, 1961, 1967; Moiola & Weiser, 1968). Udden (1914) adalah orang yang pertama-tama memakai distribusi besar butir secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari distribusi itu, misalnya apa yang dia sebut sebagai “indeks pemilahan”, untuk menafsirkan lingkungan pengendapan sedimen. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini disarikan oleh Pettijohn dkk (1972). Secara umum, dapat disimpulkan bahwa usaha-usaha itu tidak terlalu berhasil. Metoda-metoda yang ada agaknya memang dapat memberikan hasil yang menggembira-kan untuk pasir yang berasal dari daerah tertentu, namun tidak memberikan hasil apapun untuk daerah lain (Klovan & Solohub, 1968; Schlee dkk, 1964). Pada kasus umum, keberhasilan metoda tersebut sangat tergantung pada teknik-teknik analisis. Teknik-teknik itu umumnya hanya bisa diterapkan pada pasir masa kini yang tidak tersemenkan, namun tidak dapat diterapkan pada kuarsit purba.
Komposisi, baik komposisi mineral maupun komposisi kimia, pasir masa kini juga sangat bervariasi. Komposisi pasir masa kini tampaknya lebih tergantung pada ukuran partikel dan litologi batuan sumber, bukan pada iklim, lingkungan, atau agen pengendapan. Komponen penyusun sebagian besar pasir berupa kuarsa, felspar, dan fragmen batuan. Berapa besar proporsi komponen-komponen tersebut dalam pasir masa kini? Sayang sekali kita belum memperoleh data yang cukup banyak mengenai hal tersebut karena sebagian besar penelitian mineralogi pasir masa kini mengabaikan fraksi mineral ringan yang menjadi material penyusun dominan serta lebih terkonsentrasi pada mineral berat yang berperan sebagai material penyusun minor. Suatu kompilasi yang didasarkan pada hasil penelitian terhadap lebih dari 400 sampel pasir masa kini di Amerika Utara (Pettjohn dkk, 1972) memperlihatkan bahwa kadar felspar dalam pasir masa kini rata-rata berharga 15,3%. Angka itu mirip dengan angka yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap 434 sampel batupasir yang berasal dari Russian Platform (Ronov dkk, 1963). Pasir masa kini mengandung felspar dalam kisaran 1–77%. Pasir sungai mengandung felspar 22%, sedangkan pasir gisik dan pasir gumuk masing-masing mengandung felspar sekitar 10%. Tingginya kadar felspar dalam pasir sungai mungkin dapat dinisbahkan pada inklusi material glasial dalam jumlah yang “terlalu” banyak. Relatif rendahnya kadar felspar dalam pasir gisik dan pasir gumuk mungkin terjadi karena masuknya pasir yang lebih matang dari batuan-batuan yang ada di sekitar dataran pantai, sebagaimana yang terlihat pada kasus sampel yang berasal dari pantai Atlantik dan Gulf Coast.
Data untuk kadar fragmen batuan dalam pasir masa kini lebih tidak memuaskan lagi dibanding data kadar felspar. Fragmen batuan tersebar sangat luas dalam pasir masa kini, namun jumlah total dan jenisnya jarang dinyatakan secara spesifik. Selain itu, sebagian besar fragmen batuan tidak tembus cahaya, kecuali dalam sayatan tipis dan, oleh karena itu, seringkali diabaikan. Untuk dapat mengenal fragmen batuan, pasir yang diteliti harus cukup kompak sedemikian rupa sehingga dapat disayat dan diamati dengan metoda dan teknik yang biasa digunakan dalam analisis sayatan tipis batupasir purba. Data hasil penelitian seperti itu, sebagaimana yang kita miliki saat ini, memperlihatkan bahwa pasir sungai masa kini banyak mengandung fragmen batuan. Sebagai contoh, pasir Sungai Ohio rata-rata mengandung fragmen batuan 31% (Friberg, 1970). Sebuah kompilasi yang tidak lengkap (Pettijohn dkk, 1972) memperlihatkan angka rata-rata 20% untuk pasir sungai. Dua puluh hingga 30 persen agaknya merupakan nilai taksiran yang cukup layak untuk menyatakan proporsi fragmen batuan dalam pasir sungai masa kini. Berbeda dengan kadar felspar, kadar fragmen batuan sangat tergantung pada besar butir. Pasir kasar secara khusus jauh lebih kaya akan fragmen batuan dibanding pasir halus (Allen, 1962; Shiki, 1959).
Dari penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa pasir sungai masa kini rata-rata mengandung 22% felspar, 20% fragmen batuan, dan—dengan menganggap bahwa pasir masa kini hanya disusun oleh felspar, fragmen batuan, dan kuarsa—58% kuarsa. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pasir sungai merupakan kategori pasir masa kini yang proporsinya paling tinggi. Dengan demikian, sebagian besar pasir masa kini tidak matang atau paling banter setengah matang. Hasil modal analysis yang dapat dianggap mewakili proporsi mineral dalam pasir masa kini disajikan dalam tabel 7-1.
Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, komposisi kimia pasir masa kini mencerminkan komposisi mineralnya. Hasil analisis komposisi kimia pasir masa kini, yang dapat dianggap mewakili proporsi unsur-unsur kimia dalam pasir masa kini, disajikan dalam tabel 7-2. Karena tidak mengandung semen, komposisi ruah pasir terigen masa kini memperlihatkan kadar silika yang agak lebih rendah serta kadar CO2 dan CaO yang jauh lebih rendah dibanding batupasir terigen purba.
Kesimpulan apa yang dapat diambil dari pembahasan singkat mengenai pasir masa kini sebagaimana telah disajikan di atas? Pasir masa kini berbeda dari pasir purba dalam beberapa hal penting. Berbeda dengan graywacke yang menjadi material penyusun rekaman geologi, pasir masa kini tidak mengandung matriks. Hal itu mengindikasikan bahwa matriks merupakan produk diagenesis atau produk proses-proses pasca-pengendapan. Secara komposisional, pasir masa kini umumnya tidak matang atau setengah matang. Satu-satunya pengecualian untuk kesimpulan yang disebut terakhir ini adalah pasir yang berasal dari batupasir purba yang sangat matang. Kuarsit murni (ortokuarsit) banyak ditemukan dalam rekaman geologi, namun agaknya tidak terbentuk pada masa sekarang. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, akumulasi pasir masa kini umumnya memiliki penyebaran linier. Pasir masa kini tidak memiliki penyebaran yang luas sebagaimana pasir purba. Terakhir, komposisi dan tekstur pasir masa kini hanya memiliki sedikit hubungan dengan lingkungan pengendapan. Tekstur dan komposisi pasir masa kini lebih merupakan produk dari komposisi batuan sumber. Aksi arus memang mampu meningkatkan pemilahan, namun pembedaan pasir gumuk, pasir gisik, dan pasir sungai berdasarkan parameter-parameter besar butir paling banter dapat dikatakan tidak pasti (kalau bukan tidak memberikan hasil apa-apa). Provenansi merupakan faktor utama yang menentukan komposisi pasir masa kini.
SIFAT-SIFAT BATUPASIR
Kemas
Pasir terutama disusun oleh unsur-unsur rangka (framework elements), yang merupakan fraksi detritus, dan void yang membentuk sistem ruang pori (pore system) atau ruang kosong diantara unsur-unsur rangka. Sebagian atau semua void atau ruang pori dalam batupasir tua dapat terisi oleh material padat. Dengan demikian, pemelajaran terhadap pasir atau batupasir berpusat pada unsur-unsur rangka (komposisi dan mikrogeometrinya) serta pada khuluk dan volume ruang pori dan material pengisi ruang pori.
Menurut definisinya, rangka disusun oleh material berukuran pasir dengan diameter 1/16–2 mm. Material itu biasanya dikemas sedemikian rupa sehingga setiap partikel berhubungan dengan partikel lain yang bersebelahan dengannya serta keseluruhan rangka itu membentuk suatu struktur yang stabil di bawah pengaruh medan gravitasi bumi. Berbeda dengan partikel-partikel penyusun batuan beku dan batuan metamorf, yang satu sama lain berada dalam kontak menerus, partikel-partikel penyusun pasir hanya saling berhubungan dengan kontak tangensial. Konsentrasi stress pada titik-titik kontak itu dapat menyebabkan terjadinya pelarutan pada titik kontak dan pengendapan di tempat lain. Hal itu pada gilirannya menyebabkan bertambah luasnya bidang kontak antar partikel dan berkurangnya volume ruang pori. Produk akhir dari aksi tersebut adalah terbentuknya batuan yang partikel-partikel penyusunnya berada dalam kontak menerus serta memiliki porositas nol. Perubahan-perubahan pasca-pengendapan dalam kemas pasir akan dibahas pada sub bab 7.6.
Sebagian pasir tidak memperlihatkan geometri rangka-void yang sederhana. Pasir seperti itu bukan dibentuk oleh rangka detritus dan sistem ruang pori yang sebagian atau seluruhnya terisi oleh semen, melainkan memperlihatkan suatu kontinuum besar butir mulai dari butiran pasir hingga lanau dan lempung. Endapan seperti itu dinamakan wacke dan salah satu contoh yang paling terkenal dari wacke ini adalah graywacke. Dalam wacke, tidak ada batas besar butir yang jelas antara fraksi pasir dengan fraksi yang lebih halus daripadanya. Material berukuran pasir tertanam dalam suatu matriks. Walau demikian, batas arbitrer yang dibuat untuk membedakan butiran dengan matriks merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan penafsiran. Batas itu diletakkan pada 1/16 mm (0,0625 mm) atau pada 0,05 mm, bahkan pada 0,03 mm. Berapa proporsi matriks dalam suatu pasir agar pasir itu dinamakan wacke? Sebagian ahli memilih angka 15%; ahli lain memilih angka yang lebih rendah dari itu (Dott, 1964; Williams dkk, 1954). Asal-usul matriks agak tidak pasti; matriks itu mungkin merupakan gejala primer yang terbentuk pada saat pengendapan, namun mungkin pula terbentuk oleh proses-proses diagenesis pasca-peng-endapan. Karena sebagian besar pasir masa kini tidak mengandung matriks, maka matriks dalam pasir purba kemungkinan besar merupakan produk diagenesis atau proses-proses sekunder lain.
Rangka pasir atau batupasir biasa dapat dicandra berdasarkan geometri dan komposisinya. Geometri berkaitan dengan sifat-sifat butiran atau unsur-unsur rangka—besar butir, pemilahan, bentuk butir, kebundaran, dan tekstur permukaan—serta terutama dengan pembandelaan dan orientasinya. Distribusi besar butir dapat diungkapkan dengan ukuran-ukuran statistik dari besar butir serta dengan ukuran keseragaman besar butir. Karakter-karakter itu berkaitan dengan rezim hidrolik tertentu yang menentukan pengendapan pasir serta dengan besar butir material yang ada dalam arus pengendap. Nilai pendekatan untuk pemilahan adalah nisbah butiran terbesar terhadap butiran terkecil. Dalam pasir yang terpilah baik, nisbah itu berharga kurang dari 10; dalam pasir yang terpilah buruk, nisbah itu berharga lebih dari 100. Butiran-butiran pasir memperlihatkan bentuk dan derajat pembundaran yang beragam. Penafsiran distribusi besar butir dan sifat-sifat geometri lainnya telah dibahas pada Bab 3.
Pasir cenderung memiliki pembandelaan yang ketat. Butiran-butiran yang tidak bulat cenderung mengendap dengan sumbu panjang terletak sejajar dengan bidang pengndapan; pada beberapa kasus, butiran-butiran seperti itu memperlihatkan imbrikasi. Pada kebanyakan kasus, butiran-butiran dalam penampang yang sejajar dengan bidang perlapisan memperlihatkan kesejajaran yang lemah dengan arah aliran arus pengendap. Pada kasus yang relatif jarang terjadi, orientasinya random akibat gangguan-gangguan pasca-pengendapan, terutama oleh organisme (bioturbasi).
Void membentuk 30–35% volume batupasir biasa. Volume void dapat berkurang akibat terbentuknya matriks atau akibat terpresipitasikannya semen. Dalam batupasir “rata-rata”, porositas berharga sekitar 15%. Pada kasus ekstrim, nilai porositas batupasir dapat mendekati nol. Semen dapat dipresipitasikan sebagai material yang secara kristalografi merupakan kelanjutan dari partikel-partikel detritus (misalnya saja semen kuarsa yang terbentuk pada sisi-sisi partikel kuarsa dan semen kalsit yang terbentuk pada sisi-sisi partikel kalsit), namun dapat pula diendapkan sebagai selimut kristal renik (drusy coating) atau sebagai mozaik mikrokristalin (microcrystalline mosaic) dalam void. Di bawah kondisi yang luar biasa, semen karbonat dapat tumbuh menjadi material kristalin kasar yang menyelimuti satu atau lebih partikel detritus sedemikian rupa sehingga partikel-partikel detritus itu tampak “mengambang” dalam kristal material karbonatan. Kristal seperti itu dinamakan “kristal pasir” (“sand crystal”). Sebagian semen, terutama semen karbonat, menembus unsur-unsur rangka dan menggantikan sebagian diantara unsur rangka itu. Khuluk material penyemen, kemasnya, hubungannya dengan unsur-unsur rangka, serta asal-usulnya akan dibahas lebih mendetil pada sub bab 7.6.
Pasir memiliki tingkat kematangan yang beragam. Produk akhir dari proses-proses pembentukan pasir adalah batupasir yang butiran-butiran penyusunnya tidak saja berupa satu tipe mineral (yakni mineral yang paling stabil, dalam hal ini kuarsa), namun juga memiliki besar butir tunggal (dengan kata lain, pemilahan sempurna), dan benar-benar membundar. Tidak ada satupun pasir di dunia memiliki karakter seperti itu, meskipun sebagian diantaranya memang ada yang mendekati bentuk “ideal” tersebut. Konsep kematangan (maturity)—baik kematangan komposisi maupun kematangan tekstur—sangat penting. Setiap ahli geologi hendaknya selalu berusaha untuk selalu memberikan penilaian terhadap kematangan suatu pasir (Folk, 1951).
Struktur Sedimen
Batupasir dapat memiliki struktur sedimen yang beragam. Struktur sedimen itu paling jelas terlihat pada singkapan. Struktur internal dari individu-individu lapisan batupasir sangat penting artinya. Batupasir umumnya memperlihatkan perlapisan silang-siur. Skala perlapisan silang-siur dalam suatu tubuh batupasir merupakan fungsi dari kekasaran partikel penyusun batupasir itu serta ketebalan lapisannya. Banyak pasir memperlihatkan perlapisan gelembur (ripple bedding) berskala kecil. Batupasir lain memiliki struktur graded bedding. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, graded bedding dan perlapisan silang-siur merupakan dua gejala yang tidak pernah ditemukan dalam satu lapisan yang sama serta mengindikasikan dua fasies batupasir yang jauh berbeda. Graded bedding mengindikasikan pengendapan di bawah alas gelombang dan terutama menjadi penciri batupasir endapan perairan yang dalam. Sebagian batupasir tidak mengandung perlapisan silang-siur maupun graded bedding, bahkan tidak memperlihatkan struktur internal sama sekali. Walau demikian, hasil penelitian dengan menggunakan sinar-X menunjukkan bahwa sebagian besar batupasir yang tampak masif itu sebenarnya memiliki laminasi internal (Hamblin, 1962).
Mineralogi
Penafsiran sejarah suatu batupasir tergantung pada pengetahuan mengenai komposisi mineralnya. Walau demikian, untuk dapat menafsirkan, kita tidak hanya cukup dengan menyajikan suatu daftar yang memperlihatkan jenis-jenis mineral yang ada dalam suatu batupasir. Kita sebenarnya memerlukan beberapa daftar—beberapa daftar yang didasarkan pada hasil peng-golongan mineral ke dalam katgori-kategori genetik yang berarti, misalnya ke dalam kategori mineral detritus primer (primary detrital minerals), semen, dan produk alterasi pasca-pengendapan. Penggolongan seperti itu melibatkan penafsiran yang didasarkan pada detil-detil karakter mineral yang dapat teramati (sebagian besar berupa unsur-unsur tekstur) serta pada hubungan antar mineral penyusun batupasir. Sebagian spesies mineral dapat muncul dalam beberapa kategori. Kuarsa, misal-nya saja, dapat hadir baik sebagai detritus primer maupun sebagai semen.
Daftar mineral detritus primer yang mungkin muncul dalam suatu batupasir sangat panjang. Jika batuan sumber pasir itu dikenai oleh proses pelapukan yang tidak lengkap dan jika pengangkutannya relatif dekat, maka hampir setiap mineral dapat muncul dalam pasir. Pemerian yang lebih mendetil mengenai mineral detritus yang biasa ditemuikan dalam batupasir telah disajikan oleh Krumbein & Pettijohn (1938), Tickell (1965), Duplaix (1948), dan Russell (1942).
Meskipun daftar nama-nama mineral yang mungkin ditemukan dalam batuasir cukup panjang, namun dalam prakteknya hanya beberapa jenis mineral saja yang sering ditemukan dalam batuan tersebut. Jumlah yang lebih sedikit lagi akan ditemukan dalam sayatan tipis. Kuarsa merupakan mineral dominan dalam kebanyakan batupasir. Dalam beberapa kasus, kuarsa dapat membentuk lebih dari 90% mineral detritus yang ada batupasir. Felspar, meskipun sering ditemukan, memiliki kelimpahan yang relatif lebih rendah dibanding kuarsa. Hal itu berbeda dengan kebenaan felspar dalam batuan beku. Selain kuarsa dan felspar, mika merupakan mineral penyusun batuan sumber yang kemungkinan besar dapat berperan sebagai mineral detritus dengan kelimpahan cukup tinggi dalam batupasir. Fragmen batuan dapat ditemukan dalam beberapa batupasir, bahkan jumlahnya melimpah dalam batupasir tertentu.
Kuarsa, Opal, dan Kalsedon
Kuarsa merupakan jenis mineral yang paling sering ditemukan dalam batupasir, bahkan berperan sebagai material utama pada sebagian besar batupasir. Dua per tiga bagian batupasir rata-rata disusun oleh kuarsa. Meskipun biasanya merupakan mineral detritus primer, namun kuarsa juga dapat merupakan mineral autigen. Kuarsa autigen umumnya merupakan hasil overgrowth partikel detritus. Sebagai produk overgrowth, kuarsa berperan sebagai material penyemen yang penting.
Kuarsa detritus pada kebanyakan batupasir memiliki diameter < 1,0 mm dan umumnya memiliki diameter < 0,6 mm (Dake, 1921). Partikel kuarsa yang diameternya > 1,0 cenderung merupakan kompositmerupakan zat polikristalin. Kuarsa penyusun batupasir umumnya merupakan partikel monokristalin. Besar butir partikel kuarsa terutama ditentukan oleh ukuran partikel kuarsa dalam batuan sumber. Batuan plutonik yang mengandung kuarsa, terutama granit, merupakan sumber dari hampir semua kuarsa detritus. Dake (1921) menunjukkan bahwa batuan plutonik jarang menghasilkan partikel mineral yang ukurannya > 1,0 mm. Partikel kuarsa yang ukurannya > 1,0 mm dan ada dalam batuan plutonik umumnya terpecah-pecah dan, menurut Dake (1921), hanya 9% kuarsa batuan plutonik yang akan menghasilkan partikel kuarsa dengan diameter > 1,0 mm. Dua puluh persen diantaranya menghasilkan partikel kuarsa yang diameternya > 0,6 mm.
Bentuk partikel kuarsa sangat bervariasi, namun umumnya agak membundar. Sebagian besar partikel kuarsa memperlihat-kan sedikit pemanjangan. Pemanjangan itu cenderung terjadi pada arah yang sejajar dengan sumbu-c. Wayland (1939) menisbahkan gejala pemanjangan itu pada abrasi vektoral yang disebabkan oleh sedikit perbedaan kekerasan pada arah yang sejajar sumbu-c dengan kekerasan pada arah yang sejajar sumbu-a. Walau demikian, Ingerson & Ramisch (1942) menemukan fakta bahwa partikel kuarsa dalam batuan beku dan batuan metamorf, termasuk granit, cenderung memanjang dan pemanjang-an tersebut umumnya terjadi pada arah yang sejajar dengan sumbu-c. Pemanjangan itu sendiri merupakan suatu ekspresi dari perawakan kristal kuarsa. Dengan demikian, bentuk akhir dari kuarsa sedimen merupakan pencerminan dari bentuk asalnya. Bloss (1957) dan Moss (1966), berdasarkan hasil-hasil penelitian eksperimental yang mereka lakukan, memperlihatkan bahwa kuarsa memiliki belahan prismatik dan rhombohedra yang lemah sedemikian rupa sehingga pemecahan kristal kuarsa akan menyebabkan terbentuknya partikel-partikel yang cenderung memanjang pada arah yang sejajar dengan sumbu-c atau pada arah lain yang membentuk sudut tertentu terhadap sumbu-c. Pemanjangan kristal kuarsa telah digunakan sebagai salah satu kriterion dari provenansi; kuarsa yang berasal dari batuan metamorf lebih memanjang dibanding kuarsa yang berasal dari batuan beku. Kesimpulan seperti itu didukung oleh data hasil penelitian Bokman (1952) yang menemukan nisbah pemanjangan rata-rata (nisbah sumbu panjang terhadap sumbu pendek) yang berharga 1,43 untuk granit dan 1,75 untuk sekis.
Sebagian besar partikel kuarsa detritus mengandung inklusi. Inklusi yang biasanya berukuran kecil itu umumnya tersebar secara random dalam partikel kuarsa, meskipun cenderung untuk terletak pada satu bidang yang sama. Para ahli telah melakukan pengamatan yang seksama terhadap inklusi sebagai petunjuk provenansi kuarsa. Mackie (1896) menggolongkan kuarsa detritus ke dalam 4 kelompok berdasarkan inklusi yang ada didalamnya. Keempat kelompok itu adalah: (1) kuarsa dengan inklusi berbentuk jarum (acicular); (2) kuarsa dengan inklusi beraturan (regular); (3) kuarsa dengan inklusi tidak beraturan (irregular); dan (4) kuarsa yang tidak mengandung inklusi (inclusionless). Contoh dari inklusi berbentuk jarum adalah jarum-jarum rutil. Inklusi yang beraturan adalah inklusi mineral euhedral. Inklusi yang tidak beraturan adalah inklusi fluida yang mengandung maupun tidak mengandung gelembung gas. Hasil-hasil penelitian Mackie mendorong para ahli untuk menyimpul-kan bahwa inklusi berbentuk jarum dan inklusi tidak beraturan merupakan ciri dari kuarsa batuan beku; kuarsa dalam sekis dan gneis mengandung inklusi yang beraturan. Penelitian yang lebih mendalam dan luas terhadap inklusi, sebagaimana dilakukan oleh Keller & Littlefield (1955), cenderung mendukung kesimpulan tersebut, meskipun mereka tidak menemukan adanya tipe inklusi diagnostik untuk kuarsa batuan beku maupun kuarsa batuan metamorf.
Pemadaman kuarsa bervariasi, mulai dari pemadaman tajam (sharp extinction) hingga pemadaman bergelombang (wavy extinction). Kuarsa yang dikenai oleh tekanan yang cukup tinggi memperlihatkan “strain shadow” atau “undulatory extinction” yang dapat teramati di bawah nikol bersilang. Jadi, secara umum kuarsa batuan metamorf diasumsikan memperlihatkan gejala pemadaman bergelombang yang jelas, sedangkan kuarsa batuan beku tidak memperlihatkan pemadaman seperti itu. Walau demikian, hasil-hasil pengamatan menunjukkan bahwa kuarsa berukuran besar yang berasal dari batuan granitik lebih teregang-kan (strained) dibanding kuarsa berukuran kecil yang kuat (annealed) dari sebagian batuan metamorf. Blatt & Christie (1963) menyimpulkan bahwa undulatory extinction merupakan petunjuk provenansi yang kurang dapat diandalkan.
Berdasarkan satu atau beberapa karakter kuarsa seperti tersebut di atas, banyak ahli kemudian berusaha untuk meng-golongkan kuarsa detritus ke dalam kelompok-kelompok yang mengindikasikan provenansinya. Sorby (1880) dan Mackie (1896) adalah dua orang pionir yang pertama-tama mencoba untuk mempelajari kuarsa batuan sedimen. Penelitian yang relatif baru dilakukan oleh Krynine (1940, 1946). Krynine menggolongkan kuarsa ke dalam tiga kategori: (1) kuarsa batuan beku (termasuk batuan plutonik, batuan vulkanik, dan batuan hidrotermal); (2) kuarsa batuan metamorf (termasuk pressure quartz dan injection quartz); serta (3) kuarsa batuan sedimen (yang mencakup kuarsa autigen hasil overgrowth dan kuarsa pengisi urat atau rongga dalam batuan). Skema penggolongan Krynine sukar diterapkan. Kesukaran itu sebagian timbul karena sifat-sifat yang digunakan sebagai pengenal kuarsa itu tidak bersifat inklusif dan sebagian lain karena tidak memadainya pengetahuan mengenai batuan sumber. Meskipun mungkin ada perbedaan nilai rata-rata statistik untuk beberapa tipe batuan sumber,namun seringkali tidak mungkin untuk menyatakan apakah suatu partikel kuarsa termasuk ke dalam satu kategori atau justru pada kategori yang lain.
Meskipun, misalnya saja, seseorang tidak dapat membedakan kuarsa batuan beku dari kuarsa batuan metamorf, namun orang itu seringkali dapat mengenal kuarsa vulkanik, yakni kuarsa yang berasal dari batuan vulkanik efusif, terutama porfir kuarsa. Kuarsa seperti itu pada dasarnya bebas-strain serta memperlihatkan pemadaman yang tajam. Kuarsa vulkanik dapat memperlihatkan pelekukan ke dalam (embayment) atau pembundaran akibat proses penyerapan ulang (resorption) oleh magma. Pada beberapa kasus, kuarsa vulkanik memperlihatkan sisi-sisi yang lurus dari bentuk heksagonal dipiramidal. Kuarsa vulkanik cenderung berasosiasi dengan fragmen batuan felsik dan mungkin pula dengan partikel felspar yang memperlihatkan zonasi. Pada kasus istimewa, kuarsa vulkanik merupakan material penyusun penting dalam pasir masa kini (Webb & Potter, 1969) maupun pasir purba (Todd & Folk, 1957).
Jenis kuarsa yang lebih penting adalah kuarsa polikristalin, yakni kuarsa yang merupakan komposit dan terbentuk dari dua atau lebih satuan kristal. Dalam banyak pasir, kuarsa polikristalin memiliki kelimpahan yang lebih kurang sama dengan kuarsa monokristalin. Partikel kuarsa polikristalin mungkin berupa rijang mikrokristalin, kuarsit berbutir halus, atau kuarsa kristalin kasar yang berasal dari batuan beku atau batuan metamorf. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini terhadap kuarsa kristalin kasar (Blatt & Christie, 1963; Blatt, 1967; Connoly, 1965; Voll, 1960) menunjukkan bahwa makin besar ukuran partikel kuarsa, makin tinggi kecenderungannya untuk berwujud kuarsa polikristalin. Selain itu, nisbah kuarsa polikristalin terhadap kuarsa mono-kristalin mencapai nilai terendah pada pasir matang. Hal itu mungkin terjadi karena kuarsa polikristalin merupakan bentuk partikel kuarsa yang kurang stabil. Kuarsa polikristalin juga bervariasi dalam hal ukuran dan kemas unsur-unsur kristal penyusunnya. Sebagian kuarsa polikristalin berperawakan poligonal. Maksudnya, sisi-sisi kuarsa itu memiliki batas-batas yang lurus yang satu sama lain dan cenderung untuk bertemu dengan membentuk sudut sekitar 120o. Kuarsa polikristalin lain memiliki batas-batas yang memperlihatkan sutura halus. Kuarsa polikristalin poligonal diperkirakan terbentuk akibat “static annealing”, sedangkan kuarsa polikristalin bersutura diperkirakan terbentuk akibat “cold working” (Voll, 1960).
Tingginya stabilitas kuarsa merupakan faktor yang menyebabkan melimpahnya kuarsa dalam pasir. Batuan beku rata-rata mengandung kuarsa 12% (Clarke, 1924) hingga 20,4% (Leith & Mead, 1915), sedangkan batupasir yang disusun oleh material yang berasal dari batuan beku mengandung 67–70% kuarsa (Leith & Mead, 1915). Pengayaan seperti itu mengimplikasikan tingginya stabilitas mekanis dan stabilitas kimia dari kuarsa. Kuarsa sebenarnya bukan tidak dapat larut sama sekali karena di bawah kondisi tertentu, misalnya dalam beberapa jenis tanah, kuarsa dapat memperlihatkan korosi dan pembundaran (Crook, 1968; Cleary & Conolly, 1971). Walau demikian, dalam batupasir, kuarsa tidak saja stabil namun juga cenderung untuk tumbuh sebagaimana yang diperlihatkan pada kasus outgrowth sekunder. Kuarsa jauh lebih stabil dibanding rijang. Rijang umumnya dikenai oleh pelarutan intrastrata (Sloss & Feray, 1948).
Secara mekanis, kuarsa sangat tahan. Berdasarkan percobaan-percobaan yang dilakukannya, Daubrée (1879) memperkira-kan bahwa kuarsa hanya kehilangan 1/10.000 bagian setiap terangkut untuk jarak 1 km. Penelitian dengan menggunakan abrasion mill oleh Thiel (1940) dan Kuenen (1957, 1959b, 1960) cenderung untuk mendukung gagasan lambatnya kuarsa terabrasi.
Kuarsa juga memegang peranan penting sebagai semen dalam batupasir. Kuarsa merupakan material penyemen dominan dalam kebanyakan batupasir, terutama batupasir Paleozoikum atau batupasir Prakambrium. Semen kuarsa pada banyak kasus tampak sebagai secondary outgrowth pada partikel kuarsa detritus. Gejala outgrowth itu dicandra pertama kali oleh Sorby (1880). Irving & Van Hise (1892) mengemukakan banyaknya contoh pelebaran partikel kuarsa dalam berbagai formasi di Amerika Utara. Fenomenon itu tersebar luas dan mungkin bersifat universal dalam semua batupasir, dimana kuarsa kristalin berperan sebagai semen. Dalam batupasir yang tersemenkan paling lemah, partikel kuarsa mungkin mudah terpecah-pecah dan keberadaan partikel tersebut dapat dipelajari di bawah mikroskop binokuler. Overgrowth kuarsa (gambar 7-1) menyebabkan terpulihkannya bentuk dasar dan kesimetrian kristal kuarsa. Overgrowth itu dapat terlihat dalam sampel genggam sekalipun. Dalam sayatan tipis, overgrowth dapat terlihat sebagai “tambahan” terhadap inti partikel detritus. Batas antara inti kuarsa detritus dengan bagian overgrowth merupakan produk pencampuran antara material tambahan dengan material lain yang semula menyelimuti kuarsa detritus. Garis itu akan menjadi makin jelas apabila partikel detritus itu sebelumnya tertutupi oleh oksida besi sebelum proses overgrowth berlangsung. Walau demikian, dalam better-welded quarzite, perbedaan antara “inti” dengan overgrowth kurang jelas dan dalam beberapa kasus tidak dapat dibedakan sama sekali. Jika sayatan tipis diteliti dengan menggunakan metoda cathodeluminescence, kandungan unsur jejak dari kuarsa akan menyebabkan timbulnya suatu fluorecence yang memungkinkan dikenalnya “inti” dan overgrowth (Sippel, 1968).
Opal dan kalsedon juga sering muncul dalam batupasir sebagai partikel atau, kadang-kadang, sebagai semen. Opal tidak pernah ditemukan dalam batupasir yang sangat tua karena dalam batupasir seperti itu opal akan mengalami devitrifikasi dan rekristalisasi menjadi kalsedon. Semen kalsedon akan tampak sebagai material yang menyelimuti partikel detritus. Semen kalsedon umumnya berbentuk serat, dimana arah penyeratannya tegak lurus terhadap batas-batas partikel detritus.
Felspar
Meskipun felspar merupakan jenis mineral yang paling tinggi kelimpahannya dalam batuan beku, namun kelimpahannya dalam batupasir masih lebih rendah dibanding kuarsa. Walau demikian, dalam pasir masa kini, felspar memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibanding kuarsa. Kadar felspar rata-rata dari 404 sampel pasir masa kini yang berasal dari Amerika Utara adalah 15,3% (Pettijohn dkk, 1972). Angka yang mirip diperoleh dari hasil penelitian terhadap 435 sampel batupasir Prakambrium hingga Kuarter yang berasal dari Russian Platform (Ronov dkk, 1963). Unweighted mean kuarsa dari 98 sampel batupasir yang berasal dari Amerika Utara adalah 10,2%.
Pengenalan felspar dan pembedaannya menjadi beberapa tipe sukar untuk dilaksanakan, terutama apabila kita harus melakukan modal analysis untuk setiap partikel. Staining merupakan satu-satunya jawaban yang memuaskan untuk memecah-kan masalah tersebut (Russell, 1935; Laniz dkk, 1964).
Felspar dalam batupasir mencakup K-felspar, terutama mikroklin, dan plagioklas (umumnya termasuk ke dalam sub-spesies albit). Zoned felspar jarang ditemukan dan cenderung berasal dari batuan vulkanik. Demikian pula dengan felspar euhedral dan felspar euhedral yang terpecah-pecah. Felspar detritus (detrital feldspar) mungkin transparan, namun mungkin pula agak kusam karena mengandung produk alterasi. Beberapa ahli telah berusaha untuk mengaitkan jenis felspar dengan batuan sumber (Rimsaite, 1967). Oscillatory zoning mengindikasikan batuan asal vulkanik atau batuan hipabisal (Pittman, 1963). Felspar yang berasal dari batuan vulkanik asam biasanya berupa sanidin, sedangkan yang berasal dari batuan plutonik biasanya berupa ortoklas atau mikroklin. Felspar piroklastik berwujud kristal euhedra yang utuh atau kristal euhedra yang terpecah-pecah. Kristal itu umumnya tertutup oleh gelas atau gelas yang telah mengalami devitrifikasi.
Apabila dibandingkan dengan kuarsa, felspar relatif kurang stabil. Karena itu, residu pelapukan batuan plutonik cenderung mengalami pengurangan felspar dan pengayaan kuarsa. Pengurangan kadar felspar seperti itu, akibat dekomposisi dalam profil pelapukan, dapat menjadi makin hebat akibat terhancurkannya felspar selama terangkut menuju tempat pengendapannya.
Meskipun felspar diperkirakan lebih rentan terhadap penghancuran mekanis dibanding kuarsa, namun data yang menunjang pendapat itu masih kontradiktif. Mackie (1896) mencatat adanya penurunan kadar felspar di Sungai Findhorn (Skotlandia), dari 42 menjadi 21 persen, setelah felspar itu terangkut untuk jarak 30–40 mil (48–64 km). Dia menisbahkan penurunan kadar felspar itu pada abrasi. Plumley (1948) menemukan gejala yang sama, berupa penurunan kadar felspar fraksi pasir kasar ke arah hilir di Black Hills, South Dakota. Di lain pihak, dia menemukan bahwa pasir Sungai Cheyenne hanya mengalami sedikit penurunan kadar felspar (dari 29 menjadi 24 persen) setelah terangkut sejauh 150 mil (240 km). Russell (1937) menyatakan bahwa pasir Sungai Mississippi hanya mengalami sedikit penurunan kadar felspar—dari 25% di sekitar Cairo, Illinois, menjadi 20% di Gulf of Mexico. Penurunan sebesar itu boleh dikatakan dapat diabaikan karena berlangsung pada jarak 1100 mil (1770 km). Data yang terbatas seperti tersebut di atas mengindikasikan bahwa felspar mungkin tereduksi agak cepat apabila diangkut dalam sungai turbulen yang bergradien tinggi dan mengangkut gravel. Di lain pihak, dalam sungai besar, proses penurunan kadar felspar dalam pasir mungkin berlangsung lambat. Aksi gisik yang kuat mungkin mampu untuk menyebabkan penurunan kadar felspar dalam pasir.
Felspar adalah mineral yang secara kimia tidak bersifat stabil. Hal itu dapat ditunjukkan dengan mudah. Data profil tanah yang disajikan oleh Goldich (1938) menunjukkan bahwa ketidakstabilan itu bervariasi, sesuai dengan spesiesnya. Felspar yang kaya akan unsur karbonat relatif kurang stabil, sedangkan alkali felspar (terutama mikroklin) relatif stabil. Stabilitas felspar dalam batupasir tidak sama dengan stabilitasnya dalam tanah. Dalam banyak batupasir, felspar detritus mengalami overgrowth sekunder. Karena hampir murni berupa K-felspar atau Na-felspar, overgrowth kemungkinan besar stabil pada lingkungan akuatis bertemperatur dan bertekanan rendah yang ada dalam sistem ruang pori batupasir.
Kebenaan felspar detritus telah menjadi bahan pembahasan yang berlarut-larut. Masalah itu merupakan inti dari apa yang dikenal sebagai “arkose problem.” Kemampuan felspar untuk bertahan agaknya merupakan fungsi dari intensitas proses peluruhan dan lamanya aksi peluruhan itu berlangsung. Apabila relief tinggi dan erosi cepat, felspar tidak akan terdekomposisi seluruhnya dan akan hadir dalam pasir; apabila relief rendah dan erosi relatif lambat, felspar akan terhancurkan. Iklim tampak-nya hanya memegang peranan sekunder. Walau demikian, penghancuran felspar akan terhambat apabila berlangsung pada daerah beriklim sangat kering atau sangat dingin. Masalah ini, dan bukti-bukti yang berkaitan dengannya, akan dibahas lebih jauh pada bagian 7.5.1.
Sebagaimana kuarsa, felspar dapat memperlihatkan secondary enlargement. Karena itu, hingga tingkat tertentu, felspar dapat berperan sebagai semen. Dalam batupasir, pembedaan antara inti detritus dari felspar dengan cincin sekunder yang merupakan hasil pertumbuhan baru relatif mudah dilakukan. Inti itu biasanya membundar dan mengalami kaolinisasi atau terubah sedemikian rupa sehingga inti itu tampak jelas berbeda dengan bagian overgrowth. Dalam pertumbuhannya, material yang terletak di pinggir cenderung membentuk bidang kristal sedemikian rupa sehingga menyebabkan terbentuknya kristal yang teratur, biasanya bentuk rhombik sederhana. Berbeda dengan kuarsa sekunder, felspar autigen (authigenic feldspar) hanya terbentuk pada suatu fraksi kecil dari keseluruhan batuan.
Inti dari kebanyakan partikel felspar yang mengalami overgrowth agaknya berupa felspar berperawakan triklin (mikroklin). Material overgrowth yang tumbuh pada sisi-sisi inti itu biasanya berupa K-felspar yang tidak memiliki kembar. Overgrowth juga dapat terjadi pada plagioklas detritus. Material overgrowth yang tumbuh pada sisi-sisi plagioklas biasanya berupa soda felspar murni (albit). Meskipun material overgrowth memperlihatkan kesinambungan kristal dengan inti yang diselimutinya, namun material itu umumnya memperlihatkan sangat sedikit perbedaan dalam sudut pemadaman. Hal itu mengindikasikan adanya sedikit perbedaan dalam komposisinya. Felspar autigen hampir selalu berupa K-felspar murni. Para ahli telah mengetahui, berdasarkan bukti-bukti petrologi dan hasil-hasil percobaan eksperimental, bahwa felspar campuran (mixed feldspar), baik soda-lime feldspar maupun potash-soda feldspar, hanya terbentuk pada temperatur tinggi. Felspar sedimen yang terbentuk di bawah temperatur rendah merupakan jenis felspar yang paling murni (Baskin, 1956).
Secondary growth terjadi setelah material yang menjadi intinya diendapkan, ketika felspar baru diendapkan diantara partikel-partikel kuarsa. Walau demikian, pada beberapa kasus, diperoleh bukti adanya beberapa perioda secondary growth (gambar 7-2). Cincin yang pertama kali diendapkan itu sendiri mungkin telah terhancurkan sebelum tumbuhnya felspar pada perioda pertumbuhan selanjutnya (Goldich, 1934; Stewart, 1937).
Kondisi-kondisi yang mendorong pembentukan felspar autigen belum dipahami sepenuhnya. Sebagian besar ahli saat ini berkeyakinan bahwa felspar autigen terbentuk oleh proses-proses diagenesis serta memandang bahwa felspar autigen tidak terbentuk oleh proses-proses metamorfisme atau proses-proses hidrotermal (Goldich, 1934), meskipun ada beberapa kasus yang mengindikasikan adanya hubungan antara felspar sekunder dengan intrusi batuan beku (Heald, 1956a). Para ahli mengatakan bahwa pembentukan felspar sekunder memerlukan air laut dan, oleh karena itu, kehadiran felspar sekunder merupakan indikator pengendapan pada lingkungan laut (Crowley, 1939).
Fragmen Batuan
Batuan berbutir kasar, baik batuan beku maupun batuan metamorf, tidak muncul sebagai detritus dalam sedimen klastika yang berbutir sedang. Sedimen itu terutama berasal dari hasil disintegrasi batuan plutonik. Di lain pihak, fragmen batuan berbutir halus dapat muncul dalam pasir. Bahkan, dalam tipe batupasir tertentu (yakni lithic arenite), fragmen batuan berperan sebagai komponen dominan yang nilai kelimpahannya melebihi kelimpahan kuarsa. Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 85 buah sampel, diketahui bahwa pasir masa kini rata-rata mengandung 20% fragmen batuan (Pettijohn dkk, 1972). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 187 sampel (Friberg, 1971), diketahui bahwa pasir di Sungai Ohio rata-rata mengandung 31% fragmen batuan. Dalam 13 formasi batupasir Paleozoikum yang ada di bagian tengah Pegunungan Appalachia, diketahui bahwa batu-pasir itu mengandung 0–33% fragmen batuan dan rata-rata mengandung 13% (Pettjohn dkk, 1972). Batupasir Mesozoikum Akhir di Sacramento Valley mengandung 20–75% fragmen batuan (Dickinson, 1969).
Jumlah spesies batuan dalam batupasir bervariasi. Sebagai contoh, Kulm Graywacke di Pegunungan Harz, Jerman, mengandung 19 spesies fragmen batuan (Mattiat, 1960).
Fragmen batuan sangat tergantung pada ukurannya. Fragmen batuan memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dalam fraksi pasir kasar, meskipun masih dapat ditemukan dalam pasir yang paling halus sekalipun. Sejalan dengan makin menurunnya besar butir pasir, makin sukar pula bagi kita untuk mengenal spesies fragmen batuan dan makin subjektif proses pengenalannya (Boggs, 1968). Pengenalan fragmen batuan berukuran kecil sukar untuk dilakukan. Dickinson (1970) menyarankan digunakan-nya kriteria operasional, terutama tekstur, untuk menggolongkan fragmen batuan. Dia menggolongkan fragmen batuan ke dalam lima kategori: (1) fragmen batuan vulkanik yang bertekstur afanitik; (2) fragmen batuan klastika yang bertekstur fragmental; (3) fragmen tektonit yang memiliki kemas schistose atau semischistose; (4) partikel mikrogranuler, yakni batuan yang disusun oleh partikel-partikel yang ukurannya lebih kurang sama dan bentuknya lebih kurang seperti kubus; dan (5) fragmen batuan karbonat. Setiap kategori tersebut di atas dapat dibagi lebih jauh. Fragmen batuan vulkanik dapat dibagi menjadi (a) fragmen batuan felsik; (b) fragmen batuan microlitic; (c) fragmen batuan lathwork; dan (d) fragmen batuan vitric. Fragmen batuan klastika dapat dibagi menjadi: (a) fragmen lanauan-pasiran; (b) fragmen argilitan; dan (c) fragmen batuan vulkaniklastik. Fragmen tektonit dapat dibagi menjadi: (a) fragmen metasedimen; dan (b) fragmen metavulkanik. Dengan susah payah, partikel mikrogranuler dapat dibagi menjadi: (a) fragmen batuan hipabisal; (b) fragmen hornfelsic; dan (c) fragmen sedimen. Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih jauh cara-cara untuk mengenal partikel-partikel tersebut di atas dipersilahkan untuk menelaah langsung karya tulis Dickinson (1970).
Ada dua masalah identifikasi yang perlu dikemukakan di sini. Pembedaan antara felsit (felsite) dan rijang sangat penting, namun sukar dilakukan. Felsit dapat dicirikan oleh mikrofenokris (microphenocryst), sisa-sisa glass shard (seperti pada welded tuff), sedikit relief internal (karena adanya perbedaan indeks refraksi antara kuarsa dengan felspar) dan, jika sayatan tipis itu stained untuk mengetahui kehadiran felspar, memperlihatkan noktah kuning atau merah. Rijang dapat mengandung sisa-sisa spicule, radiolaria, atau diatom, atau memiliki kemas oolitik. Masalah pembedaan felsit dengan rijang dibahas oleh Wolf (1971).
Masalah identifikasi lain yang perlu dikemukakan di sini adalah pembedaan antara partikel karbonat mikritik dan intraklastik terigen dengan partikel karbonat intrabasinal. Partikel karbonat intrabasinal sering ditemukan dalam kalkarenit. Partikel karbonat terigen umumnya dolomitik kasar. Partikel karbonat terigen cenderung untuk berasosiasi dengan fragmen batuan terigen lain.
Ketahanan (durability) fragmen batuan sangat bervariasi. Rijang dan fragmen felsitik cenderung selamat dari aksi abrasi; fragmen sekis, di lain pihak, sangat rentan terhadap penghancuran (Cameron & Blatt, 1971). Karena itu, pengangkutan yang pendek terimplikasikan oleh pasir yang mengandung banyak fragmen batuan seperti itu.
Mika
Mika detritus ditemukan dalam batupasir, terutama lithic sandstone, graywacke, dan arkose. Karena berbentuk lembaran dan, meskipun memiliki densitas yang tinggi dan ukuran yang besar, mika cenderung ditemukan bersama-sama dengan pasir halus dan lanau. Mika tidak ditemukan dalam pasir yang tercuci bersih.
Baik biotit maupun muskovit sering ditemukan dalam pasir. Biotit dalam banyak kasus terubah menjadi klorit atau, pada kasus-kasus istimewa, menjadi glaukonit (Galliher, 1935).
Mika muncul dalam bentuk lembaran utuh atau lembaran yang hancur menjadi partikel-partikel kecil. Apabila bersentuhan dengan partikel yang lebih tegar, lempeng-lempeng mika yang berukuran relatif besar cenderung terlengkungkan atau ter-deformasi akibat kompaksi. Lembaran mika cenderung terorientasi pada arah yang sejajar dengan bidang perlapisan. Mika ditemukan dalam jumlah relatif banyak dalam batupasir halus. Dalam beberapa batuan, lembaran mika terkonsentrasi pada bidang perlapisan sedemikian rupa sehingga memberikan kilau tersendiri pada bidang tersebut dan akan memperjelas penyubanan pada bidang perlapisan tersebut.
Lempeng mika dapat membundar baik. Menurut Krynine (1940), hal itu mengindikasikan aliran lambat, di dalam aliran mana ada unsur-unsur pergerakan maju-mundur. Lempeng biotit berbentuk heksagonal sempurna yang ditemukan dalam beberapa sedimen diperkirakan merupakan bagian dari debu vulkanik (Krynine, 1940).
Mika detritus berasal dari granit dan gneiss yang mengandung mika serta dari sekis mika. Mika detritus banyak ditemukan dalam phyllarenite. Mika digunakan sebagai kriterion sedimentasi kontinental atau litoral (Lahee, 1941). Hal itu sebenarnya terjadi karena sebagian besar aluvium sungai besar dan endapan delta berupa lithic sandstone yang berasal dari provenansi campuran sedimen dan metamorf. Mika pernah ditemukan dalam turbidit, dimana kelimpahan mika pada bagian distal lebih tinggi dibanding kelimpahannya pada bagian proksimal dari kipas bawahlaut (Lovell, 1969).
Mineral Berat
Salah satu kategori mineral penyusun batuan sumber yang biasanya mampu bertahan terhadap proses-proses penghancur-an adalah apa yang dikenal sebagai “mineral berat” (“heavy minerals”). Mineral berat merupakan mineral tambahan minor dalam batupasir dan dicirikan oleh berat jenisnya yang relatif tinggi (lebih tinggi daripada berat jenis bromoform yang berharga 2,85). Mineral berat dalam batupasir jarang hadir dalam proporsi > 1% (umumnya < 0,1%). Mineral berat berasal dari mineral tambahan minor dalam batuan sumber. Pada kondisi istimewa, mineral berat merupakan sisa-sisa mineral batuan sumber yang terutama disusun oleh mineral mafik yang tidak stabil. Zirkon adalah salah satu contoh mineral tambahan yang stabil, sedangkan hornblenda merupakan contoh mineral mafik yang dapat hadir dalam jumlah yang cukup melimpah dalam batuan sumber, namun tidak stabil sehingga mungkin hanya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam batupasir, bahkan mungkin tidak ditemukan sama sekali. Jumlah dan jenis mineral berat dalam batupasir sangat bervariasi. Dalam beberapa endapan plaser dapat ditemukan 2–20 spesies mineral berat dengan kelimpahan satu per beberapa ratus persen. Dalam kebanyakan batupasir, mineral berat hadir dalam jumlah < 1%.
Apabila berperan sebagai mineral baru yang berasal dari batuan kristalin, mineral berat hanya sedikit terhancurkan. Fragmen yang mengandung belahan dan kristal yang lebih kurang euhedral mencirikan kumpulan mineral berat yang baru. Jika berasal dari sedimen tua, spesies mineral berat yang kurang stabil cenderung tidak ditemukan, sedangkan spesies yang relatif stabil akan muncul dalam bentuk yang membundar.
Demikian jarangnya mineral berat dalam batupasir sehingga dalam satu sayatan tipis kita mungkin hanya akan menemukan 1 atau 2 buah saja. Untuk meneliti mineral berat, kita perlu mengkonsentrasikan dan mengisolasinya dari mineral ringan yang berasoasiasi dengannya. Metoda-metoda untuk memisahkan mineral berat telah dijelaskan dalam beberapa buku ajar baku untuk petrografi sedimen, misalnya karya Krumbein & Pettijohn (1938), Milner (1962), Müller (1964), serta Carver (1971).
Pemelajaran residu mineral berat dalam beberapa kasus terbukti bermanfaat untuk korelasi stratigrafi karena, secara teoritis, setiap satuan stratigrafi mengandung kerabat mineral tambahan minor yang berbeda karakter dan kelimpahannya (Boswell, 1933; Milner, 1962). Bahwa hal itu benar adanya telah terbukti berkali-kali dan menjadi dasar untuk “korelasi petrografi” (“petrographic correlation”). Keberhasilan korelasi seperti itu tidak hanya tergantung pada pengenalan asosiasi mineral tertentu, namun juga pada varietasnya serta pada perubahan proporsi mineral penyusunnya dari waktu ke waktu. Setiap massa batuan baru yang tidak tertutupi oleh batuan lain akan menyumbangkan spesies atau varietas baru pada sedimen atau perubahan-perubahan proporsi spesies yang semula ada. Korelasi itu menjadi makin kompleks karena adanya perombakkan sedimen tua sedemikian rupa sehingga endapan baru dapat memiliki spesies yang sama dengan sedimen asalnya.
Masalah penafsiran kerabat mineral berat lebih terkomplikasikan lagi karena adanya pengaruh pelarutan selektif yang dialami kumpulan mineral tersebut setelah diendapkan. Karena itu, kumpulan aktual dari mineral berat merupakan fungsi dari batuan sumber dan stabilitas mineral (dan, oleh karena itu, kapasitas mineral untuk bertahan dalam profil tanah dan dalam sedimen). Pertanyaan-pertanyaan mengenai stabilitas dan pelarutan intrastrata telah menjadi bahan perdebatan panjang diantara para ahli (Boswell, 1933; Pettjohn, 1941; van Andel, 1952, 1959; Weyl, 1950).
Hingga disini dapat disimpulkan bahwa kerabat mineral berat terbukti merupakan penunjuk yang sangat berharga untuk mengetahui jenis batuan sumber (Boswell, 1933; Feo-Codecido, 1956). Sebagian mineral mencirikan batuan sumber tertentu. Sebagian lain, misalnya kuarsa, boleh dikatakan muncul dalam hampir setiap batuan sumber. Pada kasus ini, gejala tertentu seperti inklusi dan warna berperan sebagai penunjuk batuan sumber. Penelitian Krynine (1946a) terhadap turmalin, dimana dia mengenal adanya 13 varietas atau sub-tipe, serta penelitian Vitanage (1957) terhadap zirkon melukiskan penggunaan gejala-gejala tersebut. Hubungan antara mineral berat dengan provenansi akan dibahas lebih jauh pada Bab 13.
Penyebaran kerabat mineral berat tertentu didefinisikan sebagai mandala petrologi sedimen (sedimentary petrologic province). Pemetaan mandala-mandala seperti itu banyak meningkatkan pengetahuan kita mengenai arus purba dan paleo-geografi. Untuk mengetahui lebih jauh kaitan antara mandala petrologi sedimen dengan arus purba dan paleogeografi, pembaca dipersilahkan untuk menelaah karya tulis Pettijohn & Potter (1963). Contoh pemanfaatan mineral berat untuk mengetahui mandala petrologi sedimen diperlihatkan oleh Füchtbauer (1964) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap batupasir dalam German Molassa.
Kalsit, Dolomit, dan Siderit
Karbonat paling sering muncul dalam batupasir sebagai semen, meskipun dapat juga muncul sebagai fragmen batuan dan, khusus untuk kalsit, sebagai material penyusun detritus fosil dan rangka.
Kalsit merupakan material penyemen yang biasa ditemukan dalam batupasir. Dalam batupasir Mesozoikum dan Keno-zoikum, batupasir yang tersemenkan oleh kalsit mungkin sama jumlahnya dengan batupasir yang tersemenkan oleh kuarsa (Tallman, 1949). Dalam batupasir yang tersemenkan sebagian, kalsit akan tampak di bawah mikroskop sebagai endapan seperti rumbai-rumbai pada batas partikel pasir. Walau demikian, dalam kebanyakan batupasir yang tersemenkan oleh karbonat, kalsit membentuk mosaik kristalin diantara partikel-partikel detritus. Setiap ruang pori terisi oleh satu kristal tunggal atau, paling banyak, oleh dua atau tiga kristal seperti itu. Dalam beberapa batupasir, kristal kalsit berukuran cukup besar (diameternya ≥ 1 cm). Batupasir seperti itu dikatakan memperlihatkan luster-mottling. Sementasi yang tidak lengkap pada batupasir seperti itu menyebabkan terbentuknya kristal pasir (sand crystal), yakni euhedra kalsit berukuran besar, biasanya scalenohedra, yang dimuati oleh inklusi-inklusi pasir detritus.
Dalam beberapa batupasir, partikel-partikel kuarsa “mengambang” dalam medan material karbonat. Batupasir seperti itu ditafsirkan sebagai campuran asli dari kuarsa klastika dengan karbonat klastika. Karbonat klastika itu kemudian mengalami rekristalisasi dan tidak memperlihatkan jejak-jejak asal-usulnya.
Dolomit juga diketahui berperan sebagai penyemen dalam batupasir. Dalam sebagian batupasir, dolomit dapat pula berperan sebagai detritus, baik sebagai fragmen batuan dolomitik maupun sebagai kristal dolomit detritus berukuran besar (Sabins, 1962).
Semen siderit ditemukan dalam beberapa batupasir. Walau demikian, karena tidak stabil dan karena mudah teroksidasi, semen siderit hanya dapat ditemukan dalam inti bor atau dalam sampel batuan yang masih segar. Semen siderit jarang atau tidak pernah ditemukan dalam singkapan.
Mineral Lempung dan Mineral Silikat Lain
Mineral lempung tertentu misalnya kaolinit, monmorilonit, klorit, berbagai jenis zeolit, dan glaukonit berperan sebagai material pembentuk batupasir tertentu. Sebagian mineral lempung itu merupakan material detritus, meskipun umumnya merupakan material diagenetik.
Kaolinit ditemukan dalam ruang pori beberapa batupasir sebagai semen “membongkah” yang terkristalisasi dengan baik. Mineral ini jelas merupakan presipitat yang berasal dari larutan (Glass dkk, 1956).
Serisit dan klorit merupakan material utama penyusun matriks wacke. Kedua mineral itu dipandang oleh sebagian ahli sebagai lumpur yang diendapkan bersamaan dengan partikel pasir yang ada disekitarnya serta sebagai produk autigen hasil penghancuran fragmen batuan tidak stabil. Masalah matriks dalam wacke ini akan dibahas lebih jauh pada bagian 7.5.3.
Berbagai jenis zeolit juga ditemukan dalam batupasir, terutama pasir vulkaniklastik dan pasir lain yang mengandung material vulkanik (terutama gelas). Zeolit yang biasa ditemukan dalam batupasir adalah analsim, laumontit, heulandit, klinoptilolit, dan mordenit. Mineral-mineral itu merupakan mineral diagenetik (Hay, 1966).
Glaukonit merupakan material penyusun minor dalam beberapa batupasir dan menjadi material utama penyusun greensand. Glaukonit biasanya muncul sebagai partikel berukuran pasir, berbentuk hampir seperti bola, penampangnya berbentuk poly-lobate, dan di bawah mikroskop tampak disusun oleh material mikrokristalin yang berwarna kuning-hijau hingga hijau rumput. Mineralogi glaukonit telah dibahas oleh Gruner (1935), Burst (1958), dan Foster (1969). Burst (1958) secara khusus memper-lihatkan bahwa material yang disebut sebagai “glaukonit” memiliki komposisi dan struktur kristal yang bervariasi. Burst (1958) menyatakan ada empat spesies glaukonit; sebagian diantaranya mengandung kalium dalam jumlah yang rendah. Kandungan besi dalam glaukonit tergantung pada konsentrasi besi dalam lingkungan pembentukannya. Kadar kalium dalam glaukonit juga bervariasi. Rendahnya kadar kalium dalam glaukonit mengindikasikan ketidakmatangan atau degenerasi (Foster, 1969).
Kolofan
Beberapa batupasir bersifat fosfatik. Kolofan, yakni fluorapatit karbonat amorf yang kompleks, muncul sebagai fragmen rangka dan/atau nodul fosfat, kadang-kadang juga sebagai ooid. Dalam batupasir yang berasosiasi dengan fosforit, kolofan ditemukan dalam jumlah yang melimpah, baik sebagai unsur penyusun rangka maupun sebagai semen kristal renik yang menyelimuti partikel kuarsa atau sebagai material mikrokristalin pengisi ruang pori (Bushinsky, 1935; Cressman & Swanson, 1964).
Komposisi Kimia Batupasir
Komposisi batupasir dapat dinyatakan dalam komposisi kimia ruah (bulk chemical composition). Analisis kimia ruah seperti itu sangat bermanfaat. Pasir (dan sedimen lain), pada dasarnya merupakan produk dari proses-proses fraksinasi kimia dan mekanis berskala besar yang, meskipun kurang sempurna, seringkali mendorong diperolehnya hasil-hasil yang menakjubkan. Proses-proses tersebut, apabila berlangsung dalam waktu yang lama, akan menyebabkan terpisahkannya unsur-unsur ke dalam produk akhir yang secara kimia lebih kurang homogen. Untuk memahami sepenuhnya proses-proses geokimia dan evolusi berbagai tipe sedimen, kita perlu melakukan analisis kimia. Data analisis kimia seperti itu akan memberikan suatu norma atau “bench mark” untuk mempelajari produk-produk metamorfisme tingkat tinggi serta untuk mempelajari apa yang diperoleh dan apa yang hilang jika proses itu tidak isokimia atau untuk memastikan asal-usul produk akhir pada saat tekstur dan struktur asli dari sedimen tidak dapat dikenal lagi. Analisis seperti itu juga bermanfaat untuk pasir halus atau pasir yang mengandung matriks berbutir halus dimana modal analysis sukar untuk dilaksanakan. Kita memerlukan data kimia, khususnya data kimia rata-rata, untuk mempelajari kesetimbangan massa dan aliran material dalam evolusi bumi secara keseluruhan.
Komposisi kimia pasir (serta batuan lain pada umumnya) biasanya dilaporkan oleh para analis dalam satuan “oksida”. Kadar oksigen sendiri sebenarnya tidak ditentukan secara langsung. Karena itu, praktek untuk melaporkan hasil analisis kimia dalam satuan “oksida” sebenarnya didasarkan pada asumsi bahwa unsur-unsur yang ada berkombinasi dengan oksigen dalam proporsi-proporsi stoikiometris. Asumsi itu sebenarnya tidak selalu sahih. Sebagai contoh, jika sulfida besi hadir dalam batuan, jelas tidak benar apabila kita melaporkan kehadiran besi dalam FeO dan sulfur dalam SO3. Untungnya, dalam kebanyakan sedimen, sulfida jarang ditemukan dan pengecualian seperti itu dan pengecualian lain secara umum tidak penting.
Kehandalan dan kelengkapan analisis kimia sangat bervariasi. Untuk mengevaluasi dan dan memanfaatkan data analisis kimia, kita perlu memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan mengenai metoda analisis kimia. Washington (1930) membahas secara menarik masalah kelengkapan analisis kimia serta metoda untuk mengevaluasinya. Banyak analisis tidak lengkap, bahkan unsur-unsur utama juga tidak ditentukan secara terpisah. Sebagian analis, misalnya saja, melaporkan bahwa sebagian senyawa “hilang terbakar” (“loss on ignition”). Senyawa itu mencakup air (baik air bebas maupun air yang tergabung dengan unsur lain), karbon dioksida, sulfida belerang, dan karbon atau material organik. Titanium, salah satu unsur yang penting, mungkin tidak ditentukan. Jika tidak dilaporkan, nilainya digabungkan ke dalam angka alumina (Al2O3) sehingga menyebabkan nilai alumina menjadi terlalu tinggi. Dalam banyak sedimen, alkali Na2O dan K2O tidak ditentukan secara terpisah. Material penyusun minor—MnO, P2O5, BaO, SO3, S, bahkan CO2—biasanya dilewat. Analisis yang tidak lengkap seperti itu pada gilirannya akan menjadi penghambat dalam pemelajaran sedimen.
Oksida yang dilaporkan oleh seorang analis biasanya tidak muncul dalam bentuk seperti itu,melainkan bergabung dengan oksida lain untuk membentuk mineral. Karena itu, hasil analisis kimia batupasir hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki pengetahuan mengenai komposisi mineral batupasir. Selain itu perlu ditekankan disini bahwa hasil analisis kimia ruah batupasir tidak membedakan apakah suatu oksida berasal dari unsur penyusun rangka atau dari semen. Untuk alasan itulah hasil analisis batupasir tidak dapat dibandingkan dengan hasil analisis pasir masa kini yang berasal dari batupasir tersebut. Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa komposisi mineral—dan, oleh karena itu, komposisi kimia sedimen klastika—tergantung pada besar butirnya. Sejalan dengan makin menurunnya besar butir, kadar kuarsa juga akan menurun, sedangkan kadar mineral lempung akan bertambah. Dengan demikian, sejalan dengan menurunnya besar butir, akan terjadi pula penurunan kadar SiO2 dan penaikan kadar Al2O3 dan K2O. Hal ini terlihat dengan jelas dalam tabel 8-1.
Berbeda dengan mineral penyusun batuan beku, mineral penyusun batupasir bukan merupakan kumpulan kesetimbangan. Karena itu tidak mungkin bagi kita untuk menghitung suatu komposisi “normatif” dari hasil analisis kimia sebagaimana yang biasa dilakukan dari hasil analisis kimia batuan beku.
Tabel 7-3 memperlihatkan variasi komposisi kimia rata-rata dari pasir terigen yang biasa ditemukan. Dalam tabel itu diserta-kan pula komposisi kimia “batuan beku rata-rata” sehingga para pembaca akan dapat melihat sejauh mana pasir itu telah mengalami fraksinasi. Dari tabel itu jelas terlihat bahwa batupasir kuarsa (quartz arenite atau ortokuarsit) merupakan jenis batupasir yang paling banyak terdiferensiasi dan mengalami pengayaan silika dan paling sedikit mengandung unsur lain. Pasir yang tidak terlalu matang akan mengandung felspar dan mineral lain. Karena itu, jelas sudah bahwa pasir akan memperlihatkan komposisi kimia yang bervariasi, tergantung pada tingkat kematangannya. Selain itu, pasir memperlihatkan komposisi yang jauh lebih bervariasi dibanding serpih. Hal itu terjadi karena pasir merupakan residu batuan sumber yang tidak terubah, sedangkan serpih merupakan produk akhir dari proses-proses dekomposisi. Meskipun khuluk kimia primer dari pasir ditentukan oleh kelengkapan proses-proses pelapukan dan kehebatan fraksinasi mekanis (“pencucian”) yang terjadi selama pengangkutan dan pengendapannya, namun komposisi akhir dari pasir terubah dalam berbagai cara oleh proses-proses diagenesis, terutama dengan masuknya semen pengisi ruang pori.
Ciri-ciri kimia dari setiap kategori utama batupasir dan contoh representatif dari hasil analisis kimia pada setiap kategori itu akan disajikan pada beberapa bagian dari buku ini.
Sebagai kesimpulan, komposisi kimia ruah batupasir tergantung pada, dan terubah cukup besar, oleh sementasi. Komposisi suatu kategori batupasir lebih jauh ditentukan oleh cara-cara pendefinisian kategori batupasir itu sendiri.
PENGGOLONGAN BATUPASIR
Masalah penggolongan batuan sedimen pertama kali dibahas secara serius oleh Grabau (1904). Masalah itu kemudian dikaji ulang oleh Krynine (1948), Pettijohn (1948, 1954), Shrock (1946, 1948), dan Rodgers (1950). Akhir-akhir ini literatur mengenai penggolongan batuan sedimen, khususnya penggolongan batupasir, telah menjadi sangat banyak. Status peng-golongan batupasir sekali lagi dikaji ulang oleh Klein (1963), McBride (1963), Okada (1971), serta Pettjohn dkk (1972). Para pembaca dipersilahkan untuk menelaah karya-karya tulis tersebut untuk mengetahui sejarah perkembangan penggolongan batupasir serta memahami filosofi yang melandasi penggolongan dan tatanama batupasir.
Sebagian besar ahli sepakat bahwa batupasir paling baik dicandra—dan, oleh karena itu, digolongkan—berdasarkan tekstur dan komposisi mineralnya. Komposisi terbukti sangat bermanfaat dan, dengan beberapa pengecualian, digunakan sebagai dasar dalam semua sistem penggolongan batupasir. Semua ahli sepakat untuk memisahkan mineral penyemen dari mineral yang berperan sebagai unsur rangka batuan serta memakai komponen detritus sebagai parameter untuk mengenal kategori batupasir. Pengamatan terhadap batupasir (atau pasir terigen masa kini) menunjukkan bahwa komponen utama dari batupasir itu adalah kuarsa, felspar, dan fragmen batuan. Fragmen batuan mencakup fragmen batuan beku berbutir halus (misalnya felsit), fragmen batuan sedimen (misalnya rijang dan batugamping mikritik), dan fragmen batuan metamorf (misalnya batusabak) yang berukuran pasir. Komponen detritus lain jarang ditemukan dalam batupasir dan hanya dalam kasus istimewa saja komponen itu berperan sebagai material utama penyusun batuan. Contohnya adalah glaukonit dalam pasir hijau (greensand) dan magnetit dalam pasir hitam (black sand). Dengan demikian, komposisi rangka dapat diungkapkan dengan menyatakan proporsi ketiga tipe komponen utama tersebut di atas yang secara grafis diperlihatkan oleh segitiga sama sisi (gambar 7-3). Kategori utama dari batupasir dapat didefinisikan dengan menyatakan proporsi ketiga komponen utama tersebut. Jika dipandang perlu, segitiga itu kemudian dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa bagian dengan merujuk pada pemikiran tertentu.
Sistem penggolongan di atas dapat digunakan untuk menangani pasir biasa, yakni pasir yang memiliki sistem rangka-pori yang terpisah jelas. Skema itu sukar untuk diterapkan pada pasir yang mengandung matriks dalam jumlah yang cukup banyak, yakni pada apa yang disebut sebagai wacke. Karena itu, untuk tujuan penggolongan, banyak ahli mengusulkan untuk membagi pasir ke dalam dua kelompok dasar: (1) pasir yang mengandung matriks; dan (2) pasir yang tidak mengandung matriks. Setelah itu, setiap kelompok dapat dibagi-bagi lagi dengan menggunakan skema penggolongan tersendiri. Pembagian pasir terigen menjadi dua kelompok dasar seperti itu dikritik oleh Dickinson (1970) karena sebenarnya sulit untuk menentukan definisi operasional dari istilah “matriks” itu sendiri serta karena adanya masalah-masalah penafsirannya. Meskipun ada kesulitan-kesulitan tersebut, namun skema penggolongan yang diusulkan oleh Pettijohn (1954), yang kemudian disempurnakan oleh Dott (1964), akan digunakan dalam buku ini (gambar 7-4).
Meskipun ada konsensus umum yang menyatakan bahwa ancangan untuk penggolongan batupasir seperti tersebut di atas merupakan ancangan yang paling mudah untuk diterapkan dan mengandung arti yang paling jelas, namun ada beberapa variasi penggunaannya. Penempatan batas dan penamaan beberapa kategori batupasir agak bervariasi (lihat, misalnya saja, Dickinson, 1970). Selain itu, ketaksaan juga muncul karena tidak dijelaskan, misalnya saja, apakah kuarsa polikristalin, terutama yang berwujud rijang, hendaknya dianggap sebagai fragmen batuan atau dianggap sebagai mineral kuarsa.
Ketidakseragaman dalam tatanama terutama muncul sejalan dengan adanya istilah graywacke. Istilah yang disebut terakhir ini digunakan oleh Krynine dan Folk untuk menamakan kategori batupasir yang sekarang disebut lithic sandstone. Istilah graywacke sebagaimana yang didefinisikan oleh Folk umumnya tidak digunakan lagi oleh para ahli dewasa ini dan istilah itu sekarang dipakai dalam pengertian klasik, yakni batupasir abu-abu kehitaman yang banyak mengandung matriks.
Perlu ditegaskan bahwa pemilihan parameter-parameter mineral, yang menjadi dasar penggolongan batupasir (termasuk penggolongan dalam buku ini), tidak hanya memadai untuk memerikan dan menggolongkan batupasir, namun juga memiliki kebenaan genetik tersendiri. Nisbah Q/(F + Rx) merupakan ukuran kasar dari kematangan komposisi. Nisbah itu mengukur kedekatan suatu batupasir dengan tipe batupasir yang paling matang, yakni batupasir kuarsa murni. Nisbah F/Rx mencerminkan provenansi serta dapat digunakan untuk memisahkan deep-seated provenance dari supracrustal provenance. Batuan supra-crustal—baik yang berupa batuan beku, batuan sedimen, maupun batuan metamorf—cenderung berbutir halus dan, oleh karena itu, dapat menghasilkan fragmen batuan berukuran pasir. Batuan plutonik yang berbutir kasar hanya menghasilkan partikel mineral berukuran pasir. Sebagian besar batuan beku plutonik mengandung felspar dan hanya menghasilkan felspar sebagai detritus. Nisbah butiran terhadap matriks [(Q + F + Rx)/matriks] agak sukar untuk ditafsirkan. Sedimen dengan matriks melimpah kemungkinan besar merupakan produk quasi-liquid atau produk aliran massa dari suatu campuran pasir-lumpur. Suspensi cair biasa akan menghasilkan pasir yang bebas matriks. Dengan demikian, nisbah butiran terhadap matriks dipadang sebagai indeks kecairan (index of fluidity). Walau demikian, jika sebagian matriks merupakan produk proses pasca-pengendapan (mungkin diagenesis), maka nisbah itu akan memiliki arti yang berbeda—mungkin merupakan ukuran degradasi unsur-unsur rangka.
Gambar 7-4A memperlihatkan bahwa skema penggolongan yang digunakan dalam buku ini relatif sederhana. Beberapa kategori didefinisikan berdasarkan proporsi kuarsa, felspar, dan fragmen batuan serta berdasarkan kehadiran atau ketidak-hadiran matriks. Batupasir yang mengandung matriks ≥ 15% termasuk ke dalam golongan wacke; batupasir yang mengandung matriks < 15% disebut batupasir “biasa”. Batupasir yang tidak atau hanya sedikit mengandung matriks dibagi menjadi tiga kategori: (1) batupasir kuarsa (quartz arenite), yakni batupasir yang mengandung ≥ 95% kuarsa sebagai unsur pembentuk rangka; (2) arkose, yakni batupasir yang mengandung felspar ≥ 25%, dimana kadar felspar itu lebih tinggi daripada fragmen batuan; dan (3) lithic arenite, yakni batupasir yang mengandung fragmen batuan > 25%. Pada kesempatan ini ada baiknya apabila diperkenalkan beberapa subkelas batupasir biasa yang merupakan transisi antara dua kelas utama. Ke dalam kategori ini termasuk apa yang disebut sebagai subarkose dan sublithic arenite. Lithic arenite sendiri dapat dibagi lebih jauh berdasarkan jenis fragmen batuan yang ada didalamnya (lihat gambar 7-4B). Salah satu varietas yang paling umum adalah batupasir yang fragmen batuannya berupa fragmen batuan metamorf tingkat rendah pelitik, misalnya batusabak, filit, dan sekis mika. Batupasir dengan fragmen batuan filoid (phylloid) seperti itu dinamakan phyllarenite (Folk, 1968). Istilah calclithite diusulkan oleh Folk (1968) untuk menamakan pasir terigen yang mengadung banyak partikel detritus batugamping dan dolomit. Istilah itu digunakan untuk membedakan batupasir terigen itu dari kalkarenit (calcarenite). Istilah yang disebut terakhir ini diusulkan oleh Grabau untuk menamakan pasir karbonat yang dihasilkan oleh presipitasi kimia atau biokimia. Jenis lithic arenite yang lain adalah batupasir rijang (chert arenite), jika rijang berperan sebagai fragmen batuan detritus dominan, serta batupasir vulkanik (volcanic arenite), jika fragmen batuan penyusunnya berasal dari batuan vulkanik yang telah mengalami pelapukan dan erosi.
Wacke juga dapat dibagi lebih jauh menjadi beberapa sub-tipe seperti yang diperlihatkan pada gambar 7-4A. Jenis wacke yang paling sering ditemukan adalah graywacke. Graywacke sendiri dapat dibedakan lebih jauh menjadi dua varietas, yakni (1) lithic graywacke jika fragmen batuan yang ada didalamnya memiliki proporsi yang lebih tinggi dibanding felspar; dan (2) feldspathic graywacke, jika felspar yang ada didalamnya memiliki proporsi yang lebih tinggi dibanding fragmen batuan. Tipe wacke lain, yang kelimpahannya lebih rendah dibanding graywacke dan relatif jarang ditemukan, adalah quartzwacke.
Skema penggolongan tersebut di atas terutama didasarkan pada komposisi mineral dan pada dasarnya tidak tergantung pada lingkungan pengendapan batupasir. Batupasir kuarsa, misalnya saja, dapat diendapkan pada gisik, gumuk daratan, atau sungai. Arkose dapat terakumulasi pada kipas daratan atau paparan. Walau demikian, karena karakter batuan sumber merupa-kan faktor utama yang menentukan komposisi mineral, maka skema penggolongan tersebut juga mencerminkan komposisi daerah sumber (provenansi). Karena itu, sebagaimana dikemukakan oleh Krynine (1945), skema tersebut dapat dikaitkan secara tidak langsung dengan tektonik.
Skema penggolongan batupasir hendaknya memperhitungkan pula tekstur dan karakter semen. Aspek-aspek tersebut dapat diakomodasikan dengan pemakaian kata sifat. Sebagai contoh, kita dapat menamakan suatu batupasir sebagai subarkose gampingan yang terpilah baik (well-sorted, calcareous subarkose) atau filarenit silikaan yang terpilah buruk (poorly-sorted, siliceous phyllarenite).
Banyak istilah digunakan untuk menamakah berbagai tipe batupasir yang ditemukan di alam. Sebagian nama itu, misalnya—grit, gannister, flagstone, dan brownstone—berasal dari bahasa sehari-hari (“bahasa pasar”) dan menyatakan sifat tertentu atau manfaat tertentu dari batuan tersebut. Banyak nama seperti itu tidak memiliki nilai atau status petrografi apapun. Istilah-istilah lain diciptakan dan dimaksudkan untuk memberikan penamaan yang lebih cermat terhaap tipe petrografi tertentu, misalnya filarenit gampingan (calcareous phyllarenite). Sayang sekali, tata peristilahan yang ada selama ini cenderung berkembang terlalu jauh; dewasa ini kita dibebani oleh sekian banyak istilah yang sebenarnya sinonim satu dengan yang lain. Dalam tulisan ini kita mencoba untuk menjaga agar tata peristilahan yang digunakan untuk batupasir relatif mudah ditangani. Untuk mengetahui istilah-istilah khusus yang digunakan untuk menamakan batupasir, terutama dalam literatur lama, para pembaca dipersilahkan untuk menelaah berbagai kamus geologi, karya tulis Allen (1963), dan kompilasi yang disusun oleh Pettijohn dkk (1972).
PETROGRAFI BATUPASIR
Petrografi batupasir, terutama batupasir yang tidak matang, sangat tergantung pada komposisi batuan sumber. Karena kuarsa merupakan material penyusun dominan dalam pasir, maka sumber dasar dari kebanyakan pasir adalah batuan plutonik yang banyak mengandung kuarsa (granit, monzonit kuarsa, dan gneis yang berkaitan dengan granit dan monzonit kuarsa). Arkose, suatu kategori pasir utama, merupakan produk disintegrasi (tanpa dekomposisi yang berarti) batuan tersebut. Pasir yang kaya akan fragmen batuan (yakni lithic arenite) berasal dari batuan yang terletak di bagian atas kerak bumi, bukan dari batuan plutonik. Kuarsa dalam batupasir itu berasal dari batupasir tua, sedangkan fragmen batuan yang ada didalam-nya berasal dari batuan sedimen berbutir halus, batuan metamorf, dan batuan beku efusif. Efek provenansi relatif rendah dalam pasir matang, terutama ortokuarsit atau pasir kuarsa. Semua pasir berevolusi menuju bentuk akhir yang berupa pasir kuarsa. Karena itu, makin dekat karakter dan komposisi suatu pasir terhadap pasir kuarsa, makin sukar kita untuk menentukan sumbernya.
Selain kategori-kategori utama dari pasir tersebut di atas, kita juga mengenal adanya wacke (terutama graywacke) yang juga merupakan salah satu kategori utama dari batupasir. Kita akan membahas graywacke dalam bagian tersendiri nanti.
Petrografi batupasir hendaknya dikaji dengan melakukan pemelajaran dan analisis yagn mendetil terhadap sehimpunan sampel genggam yang dipilih secara hati-hati serta pada sayatan tipis. Para pemula akan banyak memperoleh manfaat apabila menelaah karya-karya tulis utama mengenai pasir dan batupasir, termasuk monograf klasik karya Cayeux (1929) dan Hadding (1929) serta karya-karya tulis yang relatif baru (misalnya karya Pettijohn dkk, 1972). Selain itu, perlu pula dikaji hasil penelitian petrografi yang komprehensif terhadap batupasir di daerah tertentu atau dalam formasi tertentu, misalnya karya tulis klasik Krynine (1940) mengenai Third Bradford Sand (Devon) di Pennsylvania. Sebuah daftar mengenai makalah seperti itu disajikan oleh Pettjohn dkk (1972). Sebagian dari makalah itu juga akan disitir pada sub bab ini.
Feldspathic sandstone dan Arkose
Definisi feldspathic sandstone
Istilah feldspathic sandstone digunakan untuk menamakan batupasir dimana felspar merupakan detritus penyusun yang penting, biasanya cukup melimpah untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Istilah arkose, di lain pihak, adalah suatu kategori khusus dari feldspathic sandstone. Arkose merupakan istilah lama yang asal-usulnya tidak diketahui secara pasti; orang yang pertama-tama memakai istilah arkose adalah Brogniart (Oriel, 1949). Brogniart (1826) menulis makalah yang pertama-tama membahas tentang arkose dan kebenaan geologinya. Pengertian arkose relatif tidak banyak mengalami perubahan sejak dimunculkan pertama kali hampir dua abad yang lalu. Arkose umumnya berbutir kasar dan disusun oleh partikel menyudut, terutama kuarsa dan felspar, serta diasumsikan berasal dari granit atau batuan yang berkomposisi granitik. Kuarsa biasanya berperan sebagai material dominan dalam arkose, meskipun dalam arkose tertentu felspar memiliki kelimpahan yang lebih tinggi dibanding kuarsa. Material lain penyusun arkose memiliki kelimpahan yang lebih rendah dibanding kuarsa dan felspar.
Arkose
Hingga dewasa ini para ahli belum sepakat untuk menentukan berapa jumlah felspar minimum yang harus dimiliki oleh suatu batupasir agar batupasir itu masih dapat dinamakan arkose. Allen (1936) menempatkan limit bawah pada angka 25%; Krynine (1940) menempatkan limit bawah pada angka 30%, namun kemudian (Krynine, 1948) diubah menjadi 25%. Pettijohn (1949) menyetujui limit bawah diletakkan pada angka 25% dan mengusulkan agar istilah feldspathic sandstone digunakan secara terbatas untuk menamakan batupasir yang mengandung felspar 10–25% dari semua material detritus yang ada didalamnya. Istilah subarkose dewasa ini digunakan untuk menamakan apa yang dulu disebut sebagai feldspathic sandstone oleh Pettjohn (1949). Arkose didefinisikan ulang oleh Pettijohn (1954) untuk menamakan batupasir yang mengandung 25% atau lebih material labil (felspar dan fragmen batuan), dimana 50% atau lebih dari material labil itu berupa felspar. Dengan merujuk pada definisi ini, arkose dapat mengandung felspar paling tidak 12,5%.
Definisi arkose yang dikemukakan di atas gagal untuk membedakan arkose yang sebenarnya dari feldspathic graywacke karena sebagian feldspathic graywacke mengandung felspar > 25%. Menurut definisinya, graywacke mengandung matriks dalam jumlah yang relatif banyak, sedangkan arkose mengandung semen (biasanya kalsit). Walau demikian, sebagian arkose juga mengandung lempung diantara parttikel-partikel penyusun rangka. Bagaimana kita dapat membedakan arkose seperti itu dari feldspathic sandstone? Secara umum, arkose memang berasal dari hasil disintegrasi batuan granitik yang kaya akan K-felspar. Di lain pihak, felspar yang biasa mencirikan graywacke adalah Na-felspar. Berbeda dengan arkose, graywacke juga kaya akan berbagai varietas fragmen batuan yang asal-usulnya beragam. Secara umum, matriks graywacke merupakan material kloritik, sedangkan lempung dalam arkosic wacke cenderung berupa lempung kaolinitik dan umumnya berwarna merah karena adanya pigmen besi. Perbedaan komposisi itu secara umum berasosiasi dengan modus keterdapatan yang berbeda serta dengan susunan internal atau struktur yang juga berbeda. Hubungan antara beberapa tipe pasir tersebut di atas dilukiskan secara diagramatis pada gambar 7-5.
Kemas dan Komposisi
Arkose umumnya berbutir kasar serta terutama disusun oleh kuarsa dan felspar. Batuan ini biasanya berwarna merah muda atau kemerahan. Warna itu muncul karena pengaruh felspar yang ada didalamnya atau, dalam beberapa kasus, karena adanya matriks lempung merah. Sebagian arkose berasal dari batuan granitik atau gneisik yang mengandung felspar abu-abu atau putih sehingga cenderung berwarna abu-abu atau putih, kecuali apabila didalamnya terdapat material pengandung besi.
Mineral utama penyusun arkose adalah kuarsa, meskipun kadang-kadang felspar dapat berperan sebagai material dominan. Karena cenderung kasar, partikel kuarsa penyusun arkose cenderung berupa kuarsa polikristalin. Sebagian partikel penyusun arkose berupa granul komposit yang disusun oleh kuarsa dan felspar. Partikel penyusun arkose umumnya tidak membundar. Dengan beberapa pengecualian, felspar penyusun arkose berupa mikroklin. Felspar dalam arkose bervariasi mulai dari felspar segar hingga felspar lapuk (terkaolinisasi), atau merupakan felspar yang terlapukkan sebagian. Dalam arkose yang tersemenkan oleh kalsit, felspar penyusunnya dapat memperlihatkan gejala replacement, mulai dari sekedar korosi pada sisi partikel felspar hingga replacement total. Dalam arkose lain, felspar memperlihatkan regenerasi. Maksudnya, felspar dapat memperlihatkan gejala overgrowth, dimana material overgrowth itu jernih dan tidak memperlihatkan perkembaran. Mika berbutir kasar, baik yang berupa muskovit maupun biotit (dan biotit yang terkloritisasikan), merupakan material lain yang biasanya hadir dalam arkose. Mika cenderung sejajar dengan bidang perlapisan. Mika itu umumnya terlengkungkan atau terdeformasi akibat tekanan-tekanan yang diberikan oleh partikel lain yang ada disekitarnya. Biotit dapat mengalami kloritisasi atau terubah akibat oksidasi. Batupasir arkosik dengan provenansi campuran dapat mengandung fragmen batuan dan berubah secara berangsur menjadi lithic arenite berbutir kasar.
Kalsit merupakan material penyemen yang sering ditemukan dalam arkose muda. Sebagian arkose tua memperlihatkan secondary overgrowth pada felspar dan kuarsa yang ada didalamnya. Enlargement seperti itu, jika berlangsung lengkap, akan menghasilkan batuan yang terlitifikasi kuat dan dilihat selintas sangat mirip dengan gneis granit, terutama pada singkapan kecil. Sebagian arkose yang tidak mengandung semen, namun memiliki matriks kaolinitik, umumnya berwarna merah karena adanya pigmentasi oksida besi. Batuan seperti itu dinamakan batumerah (redstone) oleh Krynine (1950).
Komposisi kimia ruah arkose mencerminkan komposisi mineralnya. Dominansi kuarsa dan felspar dalam arkose terlihat dari tingginya kadar SiO2, Al2O3, dan K2O dalam batuan tersebut. Jika tersemenkan oleh kalsit, CaO dan CO2 akan menjadi senyawa dominan. Arkose biasanya dapat dibedakan dari batupasir kuarsa (ortokuarsit) karena kadar SiO2 dalam arkose lebih rendah, sedangkan kadar Al2O3 dan K2O dalam arkose lebih tinggi dibanding ortokuarsit. Arkose berbeda dari graywacke karena relatif kaya akan K2O, namun relatif miskin akan Na2O. Lihat gambar 7-6. Berbeda dengan arkose, graywacke cenderung kaya akan MgO. Kadar besi total dalam graywacke, khususnya FeO, mencerminkan matriksnya yang bersifat kloritik.
Varietas dan Cara Terdapatnya
Arkose muncul baik sebagai residuum yang mirip dengan selimut dan terletak di bagian dasar paket batuan sedimen yang menindih granite terrane atau sebagai endapan tebal berbentuk baji yang berselingan dengan konglomerat pengandung granit serta dengan batulanau dan serpih merah.
Basal arkose, karena tipis dan lapisannya relatif tidak berkesinambungan, jarang ditemukan dalam volume yang besar. Ke atas, basal arkose dapat berubah cepat menjadi pasir biasa yang miskin akan felspar. Salah satu contoh terbaik dari arkose adalah bagian bawah Lamotte Sandstone (Kambrium) di daerah Ozark, Missouri, dimana formasi itu terletak di atas granit Prakambrium (Ojakangas, 1963). Basal arkose merupakan residuum yang sedikit terrombakkan. Mundurnya laut ke arah darat di daerah batuan granitik menyebabkan terombakkannya arkose yang semula menyelimuti batuan granit itu. Perombakan dan penghilangan bagian halus yang meluruh menyebabkan tersisanya residu felspatik yang, apabila terkonsolidasi, akan disebut arkose atau subarkose, tergantung kadar felspar yang terkandung didalamnya. Material seperti itu memiliki penyebaran yang terbatas, yakni hanya pada bagian bawah formasi atau pada baji perselingan granite wash di dekat dasar atau berasal dari perbukitan granit yang terkubur. Pada beberapa kasus, residuum itu demikian sedikit terombakkan dan sedikit terdekomposisi sehingga, ketika terlifikasi, endapannya sangat mirip dengan granit. Endapan seperti itu biasa disebut recomposed granite atau reconstitute granite. Batuan seperti itu dapat dikenal secara keliru dalam singkapan kecil, dalam keratan pengeboran, atau dalam inti bor. Pada inti bor, sukar bagi kita untuk mengetahui apakah kita telah mencapai “basement” granitik atau apakah kita baru menembus suatu lidah granite wash. Dalam singkapan sekalipun, terutama dalam beberapa Precambrian terrane dimana batuan-batuan welded akibat metamorfisme, kontroversi dapat berkembang berkaitan dengan meta-arkose: apakah batuan itu merupakan sedimen arkosik, granit, atau sedimen yang mengalami granitisasi. Kontak antara granit dengan arkose yang merupakan residunya mungkin berangsur dan, jika material yang di atas itu benar-benar material sedimenter, maka kontak itu disebut gradational unconformity. Salah satu contoh yang baik dari gradational unconformity adalah kontak antara arkose Arkean dengan granit di Danau Saganaga, perbatasan Ontario-Minnesota. Kontak itu telah dibahas oleh Grant (Winchell dkk, 1899) dan Clements (1903).
Kriteria untuk membedakan granit yang sebenarnya dengan recomposed granite cukup banyak, namun umumnya sukar untuk diterapkan. Granit yang sebenarnya dapat memperlihatkan gnessic foliation samar yang tidak akan hadir jika terjadi disintegrasi lengkap serta hanya mengalami sedikit perombakan. Granit yang sebenarnya juga terpotong oleh aplit dan korok komplementer lain. Recomposed granite, jika kita mencoba melihatnya dalam keseluruhan singkapan, biasanya mengandung beberapa fragmen atau kerikil granit serta gejala perlapisan yang samar. Sifat dari recomposed granite itu jauh berbeda dengan khuluk granit yang berbutir rata atau dengan tekstur porfiritik dari beberapa batuan intrusi. Arkose yang mengalami sedikit atau tidak mengalami transportasi—residual arkose—pada dasarnya tidak terpilah dan biasanya memiliki matriks yang kaya akan lempung, umumnya berwarna merah, dengan kelimpahan ≥ 20%. Istilah redstone digunakan untuk menamakan arkosic wacke tersebut (Krynine, 1950; Hubert, 1960). Batuan yang telah mengalami rekomposisi memiliki prosentase kuarsa yang lebih tinggi dibanding granit. Sedikit pembundaran felspar (felspar ini hendaknya tidak tertukar dengan resorbed phenocryst) juga dapat hadir didalamnya. Keratan pengeboran hanya dapat menawarkan kriteria yang relatif sedikit, meskipun sedikit pembundaran dan melimpahnya kuarsa yang menjadi ciri khas dari sedimen mungkin merupakan kriteria yang paling bermanfaat.
Arkose juga muncul sebagai endapan yang berkaitan dengan pengangkatan tubuh granit. Arkose yang berkaitan dengan pengangkatan dan denudasi pluton granit itu membentuk endapan berbentuk baji yang tebal, biasanya berbutir kasar, dan umumnya konglomeratan. Contoh-contoh yang baik dari tipe arkose itu adalah New Haven arkose, Portland arkose, dan arkose lain yang termasuk ke dalam Newark Series (Trias) di Connecticut dan negara-negara bagian yang terletak di bagian timur Amerika Serikat (Krynine, 1950); endapan arkosik dalam Lyons formation dan Fountain formation (Karbon Awal) di Fort Range, Colorado (Hubert, 1960); Old Red Sandstone di Skotlandia (Mackie, 1948); serta beberapa bagian Molassa Tersier di bagian selatan Jerman dan Swiss (Gasser, 1968). Arkose pada beberapa sabuk mobil bersifat anomali karena felspar yang ada didalamnya merupakan Na-felspar, bukan K-felspar. Gejala seperti itu ditemukan dalam beberapa arkose Arkean (Walker & Pettijohn, 1971) serta Swauk Arkose (Paleosen) di Washington (Foster, 1960). Bagi mereka yang ingin mengetahui lebih banyak contoh-contoh endapan arkosik dengan tipe dan umur yang beragam dipersilahkan untuk menelaah karya tulis klasik yang disusun oleh Barton (1916).
Wilayah perisai secara umum dicirikan oleh endapan granitik sehingga memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil arkose. Arkose yang agaknya berkaitan dengan wilayah perisai adalah Jotnian sandstone (Prakambrium) di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1955) dan Swedia (Gorbatscher & Klint, 1961); Sparagmites di Norwegia dan Swedia (Hadding, 1929), pasir Kapur awal (pra-Aptian) di bagian barat Venezuela yang berasal dari Guayana Shield; Kazan Formation (Prakambrium) di Northwest Territories (Donaldson, 1967); serta bagian bawah Lorrain Quartzite (Huronian) di Ontario (Hadley, 1968).
Asal-Usul dan Kebenaan Geologi
Konfigurasi lapangan dan komposisi mineral dengan jelas memperlihatkan adanya hubungan yang erat antara arkose dengan provenansi granitik. Dengan demikian, pasir arkosik tersebar secara terbatas pada cekungan lokal atau pada daerah yang detritusnya berasal dari bongkah batuan granitik yang terangkat dan terdenudasi atau di sekitar perisai granitik. Secara petrografi, cekungan penyaliran besar menghasilkan endapan yang beragam dan tidak akan menghasilkan pasir arkosik. Meskipun agak felspathic, namun pasir dalam sungai-sungai besar mungkin bukan berupa arkose, melainkan lithic sand. Dengan demikian, arkose memiliki tempat dan waktu yang terbatas dalam rekaman geologi.
Walau demikian, pasir yang kaya akan kuarsa (yakni batupasir kuarsa) juga berasal dari provenansi granitik. Sebenarnya, apabila ditelusuri, semua pasir kuarsa berasal dari batuan pluton yang banyak mengandung kuarsa. Batuan seperti itu merupa-kan “granit” dalam pengertian luas. Jadi, mengapa sebagian pasir sangat kaya akan felspar, sedangkan pasir lain tidak?
Kebenaan felspar detritus telah menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan para ahli. Kehadiran felspar dalam jumlah besar pada beberapa batupasir (arkose) telah mendorong munculnya teori yang menyatakan bahwa kondisi iklim tertentu, yang menyebabkan tertahannya dekomposisi felspar, diperlukan untuk memungkinkan selamatnya dan terakumulasinya felspar dalam sedimen (Mackie, 1899). Karena itu, pembentukan arkose dipostulasikan memerlukan iklim yang sangat kering (yang mengimplikasikan tidak adanya air sedemikian rupa sehingga peluruhan kimia tidak berlangsung baik) atau iklim sangat dingin (yang mengimplikasikan tertahannya aksi kimia). Data yang cukup banyak dewasa ini memungkinkan disenyempurnakannya “teori iklim” itu. Krynine (1935) mengamati pembentukan arkose di bawah kondisi tropis yang lembab, dengan temperatur rata-rata 26oC dan curah hujan tahunan rata-rata 300 cm. Hasilnya menunjukkan bahwa felspar tidak saja terakumulasi dalam sedimen di bawah kondisi sepertii tu, namun pemelajaran yang kritis terhadap endapan feldspathic purba menghasilkan banyak bukti bahwa banyak diantara endapan itu buikan merupakan produk iklim yang ekstrim. Reed (1928), misalnya saja, mencatat bahwa batupasir Eosen di California, yang mengandung hampir 50% felspar, mengandung flora yang hanya dapat hidup di bawah kondisi hangat-lembab. Catahoula Sandstone di Texas (Eosen?), mengandung flora pesisir tropis meskipun batuan itu mengandung felspar hampir 50% (Goldman, 1915). Sebagaimana dikemukakan oleh Barton (1916), batupasir arkosik yang terbentuk di bawah kondisi lembab mengandung felspar yang tidak atau hanya sedikit terlapukkan. Campuran felspar segar dengan felspar yang sedikit terlapukkan atau terubah dalam beberapa sedimen mungkin dapat diterangkan sebagai produk torrential erosion pada daerah tinggi yang dialasi oleh batuan pengandung felspar di bawah kondisi iklim hangat. Arkose yang terbentuk di bawah kondisi iklim yang ekstrim tidak atau hanya akan mengandung sedikit felspar yang lapuk.
Jika kandungan felspar tidak bergantung pada iklim, lalu apa manfaat dari pengetahuan mengenai kandungan felspar itu? Pelapukan felspar memerlukan tidak saja iklim yang sesuai, namun juga waktu yang relatif panjang. Intensitas proses peluruhan dikontrol oleh iklim, sedangkan lamanya proses-proses itu berlangsung ditentukan oleh relief. Daerah berelief tinggi mengalami erosi yang relatif cepat sedemikian rupa sehingga felspar di daerah seperti itu dapat terhindar dari penghancuran. Felspar yang tidak terhancurkan itu kemudian masuk ke dalam cekungan pengendapan. Jika reliefnya rendah, laju erosi juga rendah dan, jika iklimnya sesuai, felspar akan terdekomposisi seluruhnya. Dengan demikian, kehadiran atau ketidakhadiran felspar merupakan hasil kesetimbangan antara laju dekomposisi dengan laju erosi. Jadi, arkose merupakan indeks dari ekstrimitas iklim dan aktivitas tektonik. Apakah sekumpulan felspar lebih mencerminkan kondisi iklim atau kondisi tektonik, hal itu harus dikaji lebih mendalam dengan menggunakan kriteria lain yang lebih dari sekedar kehadiran atau ketidakhadiran felspar.
Lithic sandstone dan Subgraywacke
Definisi Lithic sandstone dan Subgraywacke
Batupasir yang mengandung fragmen batuan dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding felspar disebut lithic sandstone (Pettijohn, 1954), lithic arenite (Williams dkk, 1954), atau litharenite (McBride, 1963). Litharenite analog dengan lithic tuff, yakni tuff yang banyak mengandung fragmen batuan. Proporsi fragmen batuan dalam batupasir sangat bervariasi. Hanya batupasir yang mengandung fragmen batuan ≥ 25% saja yang layak untuk disebut lithic arenite. Batupasir yang mengandung fragmen batuan 10–25% merupakan bentuk transisi yang kemudian dinamakan sublitharenite (McBride, 1963) atau protokuarsit (protoquartzite). Istilah protokuarsit diusulkan oleh Krynine (Payne dkk, 1952).
Krynine menggunakan istilah graywacke untuk menamakan graywacke klastik tipe Pegunungan Harz maupun lithic arenite. Sebenarnya, sebagaimana didefinisikan pertama kali oleh Krynine (1940), istilah graywacke hanya dapat diterapkan pada lithic arenite. Krynine (1945) kemudian mendefinisikan ulang istilah itu dan menyatakan adanya dua tipe graywacke, yakni: (1) high-rank graywacke, yakni graywacke yang banyak mengandung felspar; dan (2) low-rank graywacke, yakni graywacke yang miskin akan felspar. Jadi, low-rank graywacke memiliki definisi yang mirip dengan lithic arenite. Pengertian dan tata peristilahan seperti itu selama beberapa lama diikuti oleh Folk (1954), namun sudah tidak dipakai lagi pada masa sekarang. Sebagai gantinya, untuk batuan tersebut digunakan istilah litharenite (Folk dkk, 1970).
Istilah subgraywacke digunakan pertama kali untuk menamakan suatu tipe transisi antara batupasir kuarsa dengan gray-wacke (Pettijohn, 1949). Sebagaimana didefinisikan pertama kali, subgraywacke mengandung felspar < 10% dan mengandung matriks > 20%. Istilah itu kemudian didefinisikan ulang (Pettijohn, 1954) sebagai batupasir yang mengandung matriks < 15% dan mengandung 25% butiran labil, di dalam butiran labil mana fragmen batuan lebih banyak dibanding felspar. Dengan definisi seperti itu, subgraywacke pada dasarnya merupakan lithic arenite. Subgraywacke, dan lithic arenite pada umumnya, sekilas tampak mirip dengan graywacke, terutama dalam hal warna dan kandungan fragmen batuan.
Pemerian Umum dan Varietas
Lithic arenite umumnya berwarna abu-abu muda dengan kadar fragmen batuan yang cukup tinggi, terutama fragmen batuan sedimen dan fragmen batuan metamorf tingkat rendah. Biasanya banyak mengandung lempeng mika. Kuarsa penyusun batuan ini umumnya menyudut tanggung hingga membundar, sedangkan felspar jarang dan hanya ditemukan di beberapa tempat, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Secara keseluruhan, pasir itu terpilah cukup baik dan partikel penyusunnya diikat oleh semen (biasanya semen kuarsa atau kalsit). Matriks jarang atau tidak ditemukan dalam batupasir ini, meskipun matriks semu (pseudomatrix) yang terbentuk akibat penghancuran partikel lempung atau akibat presipitasi lempung autigenik mungkin ada.
Fragmen batuan penyusun lithic arenite tidak hanya banyak, namun juga bervariasi. Lithic arenite dapat mengandung selusin atau lebih tipe fragmen batuan. Dalam beberapa lithic arenite, fragmen batuan vulkanik ditemukan secara melimpah; dalam lithic arenite lain, fragmen batuan yang banyak ditemukan adalah fragmen batuan sedimen dan fragmen batuan meta-morf. Lithic arenite yang banyak mengandung detritus batuan vulkanik disebut batupasir vulkanik (volcanic sandstone) atau batupasir vulkaniklastik (volcaniclastic sandstone). Batuan itu hendaknya tidak tertukar dengan batupasir piroklastik (pyroclastic sandstone; pyroclastic arenite) yang merupakan produk langsung dari letusan gunungapi. Secara umum, fragmen batuan vulkanik asam cenderung lebih banyak ditemukan; fragmen batuan vulkanik basa cenderung terubah menjadi matriks. Sebagian besar lithic arenite mengandung fragmen batuan metamorf tingkat rendah filitik, misalnya batusabak, filit, dan sekis serisit. Batu-pasir yang banyak mengandung fragmen batuan seperti itu dinamakan batupasir sekis (schist arenite) (Krynine, 1937). Istilah filarenit (phyllarenite) (Folk, 1968) juga digunakan untuk menamakan batuan seperti itu. Istilah yang disebut terakhir ini diguna-kan karena banyaknya mika, baik sebagai fragmen batuan maupun sebagai lembaran detritus dalam batupasir tersebut. Banyak lithic arenite kaya akan fragmen batuan sedimen. Ada dua varietas batupasir tersebut yang perlu diketahui. Pertama, batupasir rijang (chert arenite). Sebagai contoh, rijang membentuk 20–90% Cutbank Sandstone (Kapur) di Montana (Sloss & Feray, 1948). Pasir Jura yang sangat kaya akan rijang dan terletak di Montana (Suttner, 1969) juga termasuk ke dalam kategori ini. Kita perlu ekstra hati-hati dalam membedakan rijang detritus dari partikel batuan riolitik yang telah mengalami devitrifikasi. Hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Pasir yang kaya akan rijang mungkin mengindikasikan asal-usul yang relatif dekat dengan daerah sumber, baik dari terrane batugamping rijang di daerah iklim lembab atau dari formasi rijang berlapis.
Karbonat detritus banyak ditemukan dalam lithic arenite tertentu. Batupasir yang kaya akan karbonat detritus dinamakan calclithite (Folk, 1968). Istilah calclithite dimunculkan untuk membedakan batupasir itu dari kalkarenit (calcarenite). Istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menamakan pasir karbonat yang material penyusunnya berupa partikel rangka, oolit, dan material lain yang terbentuk dalam cekungan pengendapan. Pasir karbonat detritus yang merupakan endapan terigen sering ditemukan dalam lingkungan masa kini, namun relatif jarang ditemukan dalam rekaman geologi. Dolomit detritus banyak ditemukan dalam batupasir Kapur di western interior, Amerika Serikat (Sabins, 1962). Baik dolomit detritus maupun batugamping detritus banyak ditemukan dalam batupasir Molassa di bagian utara Pegunungan Alpina (Füchtbauer, 1867b). Karena reduksi sebagian besar limestone terrane terjadi melalui pelarutan serta karena residu klastika hanya berupa rijang dan lempung, maka calclithite memerlukan erosi yang cepat dan relief yang tinggi, sedangkan batupasir rijang mengimplikasikan relief yang rendah dan pelarutan batugamping. Calclithite adalah analog berukuran pasir dari gravel dan konglomerat batugamping. Selain rijang dan batugamping mikritik atau dolomit, lithic arenite juga dapat mengandung fragmen batuan pelitik berbutir halus seperti serpih, batulumpur, dan batulanau. Karena fragmen-fragmen itu relatif mudah hancur, maka kehadirannya dalam lithic arenite meng-indikasikan jarak angkut yang dekat atau asal-usul intraformasional. Selain itu, fragmen-fragmen tersebut dapat terdeformasi akibat pembebanan. Fragmen serpih secara khusus dapat terlindi dan tertekan ke dalam ruang antar partikel lain sedemikian rupa sehingga kenampakannya menjadi mirip dengan matriks pengisi ruang pori (Allen, 1962). Dalam kondisi seperti itu, fragmen lempung mungkin tidak akan dikenal sebagai sebuah partikel detritus. Matriks yang sebenarnya akan hadir dalam semua ruang pori, sedangkan matriks semu seperti itu hanya akan melingkupi sebagian ruang pori, sedangkan ruang pori lain mungkin terisi oleh semen. Selain itu, fragmen batuan tidak semuanya mirip. Karena itu, fragmen batuan yang telah tertekan seperti itu akan bervariasi dari satu ruang pori ke ruang pori yang lain.
Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, lithic arenite merupakan kategori batupasir yang beragam komposisinya. Hal itu tercemin baik dalam modal analyses (tabel 7-6) maupun dalam komposisi kimia ruah (tabel 7-7). Modal analyses gagal untuk mengungkapkan semua “cerita” mengenai lithic arenite, kecuali apabila kategori “fragmen batuan” dipisah-pisah ke dalam spesies yang ada. Pengenalan spesies fragmen batuan berukuran kecil agak sukar untuk dilaksanakan dan memerlukan pengalaman yang cukup banyak. Kemas yang menjadi penciri batuan ini terawetkan dengan baik dalam partikel-partikel besar, meskipun kemas pada batuan yang berbutir halus juga masih dapat terlihat, bahkan dalam kelas butiran yang halus (Boggs, 1968). Kuarsa sudah barang tentu merupakan partikel utama penyusun lithic arenite. Dalam pasir vulkanik, kuarsa itu mungkin berasal dari material vulkanik (Webb & Potter, 1969). Kuarsa dalam phyllarenite kemungkinan besar merupakan kuarsa sedimen yang berasal dari batuan sedimen pasiran serta berasosiasi dengan fragmen batuan sedimen. Karena itu, kuarsa dalam phyll-arenite memperlihatkan pembundaran yang merupakan warisan dari daur sedimentasi sebelumnya, bahkan mungkin memper-lihatkan cincin kuarsa sekunder yang terabrasi. Kuarsa dari phyllarenite yang sebenarnya, yakni kuarsa yang berasosiasi dengan fragmen batuan metamorf tingkat rendah, cenderung memperlihatkan pemadaman bergelombang dan polikristalin dibanding kuarsa vulkanik atau kuarsa yang berasal dari batuan sedimen tua. Batupasir ini juga mengandung mika detritus (mika yang terletak sejajar dengan bidang perlapisan) dalam proporsi yang tinggi dan dalam banyak kasus ter-konsentrasi pada bidang perlapisan serta kemungkinan besar akan memperlihatkan gejala pelengkungan atau deformasi akibat kompaksi pasir.
Lithic arenite umumnya tersemenkan oleh kalsit (hal ini terutama berlaku pada lithic arenite Mesozoikum dan Kenozoikum) atau oleh kuarsa. Lithic arenite hanya mengandung sedikit atau tidak mengandung matriks sama sekali, meskipun sebagian diantaranya mengandung matriks semu yang merupakan produk penggerusan fragmen serpih. Sebagian lithic arenite mengan-dung mineral lempung yang dipresipitasikan dalam ruang antar partikel detritus, bahkan ada juga yang mengandung zeolit.
Komposisi kimia dari lithic arenite mencerminkan komposisi unsur rangka dan semen yang bervariasi. Hasil analisis kimia lithic arenite hanya dapat dipahami dengan benar apabila si analis mengetahui komposisi mineralnya. Tingginya kadar CO2 dan CaO dapat berarti bahwa batupasir itu mengandung semen kalsit, banyak mengandung fragmen rangka binatang, atau mungkin mengindikasikan kehadiran fragmen batugamping detritus. Tingginya SiO2 dapat mencerminkan tingginya kadar kuarsa detritus, namun hal itu juga dapat dinisbahkan pada rijang detritus atau semen silika, atau pada ketiga material penyusun tersebut. Berbeda dengan graywacke, sebagian besar lithic arenite memiliki kadar Na2O dan MgO yang rendah serta kadar K2O yang tinggi. Walau demikian ada juga pengecualian untuk itu. Sebagai contoh, kehadiran dolomit detritus akan meningkatkan kadar MgO dalam suatu lithic arenite.
Keberadaan dan Kebenaan
Lithic sandstone mungkin merupakan tipe batupasir yang memiliki kelimpahan paling tinggi. Banyak, jika bukan sebagian besar, batupasir Paleozoikum di bagian tengah Pegunungan Appalachia merupakan lithic sandstone. Contoh batupasir itu adalah Oswego sandstone (Ordovisium) (Krynine & Tuttle, 1941), Third Bradford Sand (Devon) (Krynine, 1940), formasi Pocono (Karbon Awal) (Pelletier, 1958), formasi Mauch Chunk (Karbon Awal) (Hoque, 1968; Meckel, 1967), serta Pottsville Formation (Karbon Akhir) (Meckel, 1967). Batupasir-batupasir itu kaya akan kuarsa, miskin akan felspar, dan tersemenkan oleh kuarsa. Fragmen batuan metamorf tingkat rendah dan fragmen batuan sedimen banyak ditemukan dalam batupasir-batupasir itu.
Banyak batupasir Jura dan Kapur di Pegunungan Rocky merupakan lithic arenite. Contohnya adalah batupasir yang kaya akan rijang di Montana (Sloss & Feray, 1948; Suttner, 1969) dan Alberta (Lerbekmo, 1963). Chico Formation (Kapur) di California juga merupakan lithic arenite (Williams dkk, 1954).
Sebagian besar batupasir Tersier dalam Cekungan Molasa di bagian selatan Jerman dan Swiss berupa lithic arenite. Banyak diantaranya mengandung fragmen batuan karbonat mikritik (Füchtbauer, 1964; Gasser, 1968). Tidak semua lithic arenite berasal dari sabuk orogen. Banyak pasir Tersier di Gulf Coast merupakan lithic arenite. Contohnya adalah pasir “Frio” (Oligosen) (Nanz, 1954), pasir Oakville (Miosen) (Folk, 1968a), dan Wilcox Formation (Williams dkk, 1954).
Protokuarsit atau sublitharenite juga sering ditemukan. Contohnya adalah sebagian dari Tuscarora Quartzsite (Silur) di bagian tengah Pegunungan Appalachia (Yeakel, 1962) dan Anvil Rock Sandstone (Karbon Akhir) di Illinois Basin (Hopkins, 1958).
Pasir dalam sungai-sungai besar masa kini kemungkinan besar berupa lithic sand. Rata-rata dari 187 sampel pasir Sungai Ohio mengandung 62% kuarsa, 31% fragmen batuan, dan 6% felspar (Friberg, 1970). Pasir seperti itu jelas merupakan tipikal dari lithic arenite.
Lithic arenite dan protokuarsit juga banyak ditemukan dalam rekaman geologi dan keduanya kemungkinan besar merupakan tipe batupasir yang paling tinggi kelimpahannya. Berdasarkan hasil penelaahan terhadap 121 sampel batupasir yang umur dan penyebarannya beragam, Pettijohn (1963) memperkirakan bahwa lithic arenite membentuk sekitar 26% dari semua pasir, sedangkan arkose hanya menyusun sekitar 15%. Lithic arenite paling banyak ditemukan dalam paket endapan Kapur dan Tersier. Diantara 718 sampel batupasir Kapur, Paleosen, dan Eosen yang berasal dari bagian barat Venezuela, 400 sampel (atau sekitar 56%) diantaranya berupa lithic sandstone dan sublithic sandstone (van Andel, 1958). Hanya 79 sampel (atau sekitar 11%) saja yang berupa arkose atau subarkose. Lithic sandstone memegang peranan yang lebih kurang sama dengan peranan yang dimainkan oleh graywacke dalam paket flysch tua. Walau demikian lithic arenite tidak hanya muncul dalam geosinklin, namun juga di luar geosinklin. Batupasir molassa kemungkinan besar berupa lithic arenite.
Lithic arenite merupakan pasir tidak matang karena sebagian besar material penyusunnya relatif lemah, baik secara mekanis maupun kimiawi. Hanya saja, para ahli belum mengetahui berapa banyak pasir yang dihasilkan dari batuan berbutir halus. Disintegrasi batuan berbutir kasar, tanpa disertai dekomposisi, akan menghasilkan pasir. Walau demikian, batuan berbutir halus diperkirakan akan terdisintegrasi menjadi partikel-partikel berukuran lanau. Komponen batuan yang secara mekanis tidak stabil tampaknya mudah terdisintegrasi di daerah dengan tingkat abrasi tinggi, misalnya di daerah limpasan gelombang. Fragmen batuan yang tidak stabil secara kimia akan terhancurkan selama berlangsungnya diagenesis dan menjadi matriks. Lithic arenite mungkin merupakan pendahulu dari graywacke pada endapan geologi tua. Untuk menghasilkan arkose diperlukan provenansi yang terbatas dan hal itu kemungkinan besar hanya terpenuhi pada cekungan penyaliran berukuran kecil. Lithic arenite umumnya mencerminkan provenansi yang lebih luas, yakni cekungan penyaliran yang relatif luas dan kemungkinan besar memiliki litologi bedrock yang lebih bervariasi. Dengan demikian, lithic arenite kemungkinan menjadi endapan sungai besar, baik endapan aluvial maupun delta, serta paling jelas ditemukan di wilayah miogeosinklin, meskipun tidak hanya terbatas pada wilayah tersebut.
Graywacke dan Batuan Lain yang Berkaitan Dengannya
Karena lithic sandstone mungkin memiliki kaitan dengan graywacke, maka pembahasan selanjutnya akan ditujukan pada graywacke. Istilah graywacke sendiri telah menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Perdebatan itu tidak hanya berkisar pada asal-usul batuan tersebut, namun juga pada definisi istilah graywacke itu sendiri. Hingga dewasa ini telah sekian banyak makalah membahas tentang masalah tersebut. Masalah tata peristilahan telah dikaji ulang dengan sangat baik oleh Dott (1964), Okada (1971), serta Pettjohn dkk (1972). Graywacke merupakan sebuah istilah lama yang pertama kali agaknya diterapkan pada batupasir Devon-Karbon Awal di Pegunungan Harz, Jerman. Baru-baru ini, batuan itu diteliti ulang dengan sangat hati-hati oleh Helmbold (1952) dan Mattiat (1960). Ciri-cirinya yang paling menonjol adalah warna abu-abu tua, kompak, banyak mengandung felspar dan fragmen batuan, tidak memiliki semen, serta mengandung matriks yang disusun oleh intergrowth berbutir halus yang disusun oleh serisit, klorit, serta partikel kuarsa dan felspar yang berukuran lanau. Berbeda dengan arkose, graywacke kaya akan FeO, MgO, dan Na2O. Meskipun ada beberapa kesulitan untuk mendefinisikan graywacke secara cermat, namun memang ada sekelompok batuan yang kenampakan dan sifat-sifatnya mirip dengan graywacke klasik yang ada di Pegunungan Harz. Matriks berwarna gelap dan berbutir halus menjadi aspek yang esensil dari batuan ini.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, istilah graywacke pernah digunakan dalam pengertian yang lebih luas hingga mencakup apa yang sekarang disebut sebagai lithic arenite. Meskipun lithic arenite kelihatannya mirip dengan graywacke, namun sebenarnya tidak mengandung matriks, sarang, atau mengandung semen. Istilah graywacke dalam pengertian luas seperti itu sekarang sudah ditinggalkan oleh para ahli.
Matriks merupakan jantung dari masalah graywacke. Seberapa banyak matriks itu dan berapa limit atas dari besar butir matriks itu? Sebagaimana dikemukakan oleh Okada (1971), prosentase matriks yang membedakan wacke (yang salah satunya adalah graywacke) dari batupasir “bersih” diletakkan secara bervariasi oleh para ahli, mulai dari 5 hingga 25 persen. Dott (1964) serta Gilbert (dalam Williams dkk, 1954) sepakat untuk meletakkan limit itu pada angka 10%. Sebagian besar ahli memilih angka 15%. Angka yang disebut terakhir inilah yang digunakan dalam buku ini. Limit atas dari besar butir matriks juga bervarias. Okada (1971) mencatat bahwa kebanyakan ahli meletakkan limit itu pada angka 20 mikron. Mengikuti pendapat Pettijohn dkk (1972), limit yang digunakan dalam buku ini adalah 30 mikron.
Kemas dan Komposisi
Secara umum, graywacke berwarna abu-abu tua hingga hitam, kompak, umumnya tidak memiliki stratifikasi internal atau gejala penyubanan, serta umumnya (namun tidak selalu) memperlihatkan grading. Pada singkapan kecil, graywacke dapat tertukar dengan batuan beku basa. Di bawah mikroskop, graywacke memperlihatkan kenampakan seperti mikrobreksi yang disusun oleh kuarsa yang menyudut, tajam, dan mirip dengan keratan bersama-sama dengan felspar dan fragmen batuan yang menyudut, dimana semua unsur rangka itu tertanam dalam matriks yang dalam beberapa sampel jumlahnya menyamai bahkan melebihi jumlah unsur rangka. Matriks itu berupa agregat mikrokristalin yang disusun oleh kuarsa, felspar, klorit, dan serisit, serta, pada beberapa tempat, digantikan secara tidak lengkap oleh material karbonat. Di bawah nikol bersilang, matriks hampir tidak tampak berbeda dengan fragmen batuan yang berbutir halus. Keduanya sukar untuk dibedakan. Sebagian ahli (mis. de Booy, 1966) berpendapat bahwa karena adanya kesulitan tersebut, volume matriks dalam graywacke telah diberi nilai yang berlebihan. Dalam sebagian graywacke, terdapat pengarahan folia dari serisit dan klorit. Pengarahan seperti itu dapat dipandang sebagai pendahulu dari skistositas. Walau demikian, dalam kebanyakan graywacke, matriksnya bersifat khaotik.
Komposisi graywacke agak bervariasi. Kuarsa umumnya merupakan material penyusun dominan. Dalam kebanyakan gray-wacke, kelimpahan kuarsa < 50%; pada sebagian graywacke, kelimpahannya ≤ 25%, bahkan ada pula yang < 10% (tabel 7-8). Hampir di setiap bagian graywacke, kuarsa hadir sebagai partikel yang menyudut dan umumnya memiliki gejala pemadaman bergelombang yang kuat. Sebagian graywacke mengandung kuarsa vulkanik. Sejalan dengan makin banyaknya material vulkanik (kuarsa vulkanik, fragmen batuan vulkanik, felspar yang memperlihatkan zonasi kuat, serta kristal euhedra yang terpecah-pecah), graywacke berubah secara berangsur menjadi tuff dan batupasir tufaan yang diendapkan pada lingkungan akuatis. Felspar biasanya hadir dalam graywacke. Pada beberapa kasus, jumlah felspar menyamai, bahkan melebihi jumlah kuarsa. Secara umum, felspar itu berupa plagioklas, biasanya very sodic, mendekati albit. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa hasil analisis kimia ruah graywacke sering memperlihatkan kadar Na2O yang tinggi. Sebenarnya, felspar penyusun graywacke mungkin sebelumnya lebih bersifat calcic, dimana kalsium yang larut tampak dalam batuan sebagai replacement kalsit yang tidak merata. K-felspar umumnya tidak hadir dalam graywacke. Sukar untuk menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Hal itu mungkin dapat dinisbahkan pada provenansi. Maksudnya, material penyusun graywacke itu berasal dari batuan sumber dioritik kuarsa atau batuan granitik sodic. Hal itu juga dapat dinisbahkan pada beberapa aksi diagenesis atau meta-morfisme tingkat rendah (Gluskoter, 1964).
Mika detritus, baik yang berupa muskovit maupun biotit (dan biotit yang mengalami kloritisasi) sering ditemukan, namun biasanya dalam jumlah yang relatif sedikit.
Fragmen batuan hadir dalam graywacke dalam kelimpahan dan keragaman yang tinggi. Mattiat (1960), misalnya saja, menemukan ada 19 tipe fragmen batuan dalam Kulm Graywacke di Pegunungan Harz. Fragmen batuan yang rata-rata membentuk 26% fraksi pasir dalam graywacke itu berupa batuan vulkanik asam hingga basa, beberapa tipe batuan metamorf tingkat rendah (termasuk kuarsit, sekis mika, sekis serisit, dan sekis klorit), serta fragmen batuan sedimen (termasuk beberapa tipe batupasir dan sabak).
Berdasarkan kelimpahan relatif dari felspar dan fragmen batuan yang ada didalamnya, graywacke dapat dibedakan menjadi dua kategori utama: (1) feldspathic graywacke, di dalam batuan mana felspar lebih melimpah dibanding fragmen batuan; dan (2) lithic graywacke, di dalam batuan mana fragmen batuan lebih melimpah dibanding felspar. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, graywacke berubah menjadi volcanic graywacke sejalan dengan bertambahnya kadar kuarsa vulkanik, felspar yang mem-perlihatkan zonasi, fenokris yang pecah-pecah, dan fragmen batuan vulkanik. Banyak volcanic wacke sangat miskin akan kuarsa. Batuan itu selanjutnya berubah secara berangsur menjadi tuff endapan akuatis. Istilah quartz wacke pernah digunakan untuk menamakan graywacke yang sangat kaya akan kuarsa. Batuan itu jarang ditemukan dan ditafsirkan merupakan produk provenansi batuan sedimen.
Dengan beberapa pengecualian, graywacke memiliki komposisi kimia ruah yang relatif jelas (tabel 7-9). Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, graywacke kaya akan Al2O3, FeO, MgO, dan Na2O. Tingginya kadar Na2O mencerminkan bahwa felspar yang hadir didalamnya kemungkinan berupa albit; tingginya kadar MgO dan FeO muncul karena adanya matriks klorit yang kaya akan besi. Graywacke berbeda dari arkose karena dalam graywacke kadar Na2O lebih tinggi dibanding K2O, kadar MgO lebih tinggi daripada CaO, dan kadar FeO lebih tinggi dibanding Fe2O3. Graywacke memiliki komposisi ruah yang tidak jauh berbeda dari granodiorit. Komposisi graywacke biasanya berbeda dengan komposisi batuan sumber karena mengalami pengayaan dalam SiO2 dan pengurangan dalam Al2O3, besi, alkali, dan tanah alkali. Jadi, kemiripan kimia antara graywacke dengan granodiorit mengindikasikan pelapukan dan pemilihan yang terhambat. Pasir masa kini di Columbia River (Whetten, 1966) memiliki komposisi kimia ruah yang sangat mirip dengan graywacke. Komposisi mineralnya mengindikasikan provenansi campuran dari batuan granitik dan batuan vulkanik.
Masalah Matriks
Sebagaimana dikemukakan oleh Cummins (1962), matriks merupakan “esensi dari masalah graywacke“. Matriks telah di-jelaskan dengan banyak cara. Selama matriks itu memiliki komposisi yang mirip dengan batusabak, matriks dianggap sebagai hasil rekristalisasi di bawah kondisi metamorfisme tingkat rendah pada lumpur detritus asli. Jika demikian halnya, maka masalah yang ada adalah bagaimana caranya untuk menjelaskan pengendapan pasir dan lumpur secara bersamaan. Arus akuatis normal berlaku sebagai agen pemilah sedemikian rupa sehingga pasir dan lumpur akan terakumulasi secara terpisah. Sungai yang didominasi oleh pasir dan mengangkut lumpur sekalipun relatif “bersih” dan bebas akan lumpur. Woodland (1938), salah seorang yang pertama-tama menelaah masalah tersebut, berpendapat bahwa elektrolit-elektrolit yang ada dalam air laut akan menyebabkan terjadinya flokulasi lumpur sedemikian rupa sehiingga pasir dan lumpur akan diendapkan secara bersamaan. Walau demikian, hanya sedikit (jika ada) pasir laut-dangkal masa kini yang memperlihatkan gejala seperti itu.
Masalah matriks dari graywacke juga pernah dijelaskan berdasarkan cara-cara pengangkutan dan pengendapan tertentu. Kuenen & Migliorini (1950), misalnya saja, menyatakan bahwa “… semua gejala graded graywacke yang luar biasa dan semula menjadi teka-teki dapat dengan mudah dijelaskan sebagai produk aktivitas arus turbid berdensitas tinggi.” Arus yang disusun oleh material halus yang tersuspensi tersebut mampu mengangkut pasir melalui lereng bawahlaut menuju perairan dalam di tempat mana, setelah terhambat, akan mengendapkan bebannya yang berupa pasir dan lumpur. Endapan itu berupa graded graywacke yang mengandung matriks lumpur. Pengendapan pasir seperti itu dalam cekungan laut-dalam dapat menjelaskan kegagalan kita selama ini dalam menemukan endapan masa kini yang ekivalen dengan graywacke. Walau demikian, endapan seperti itu tidak muncul di laut-dalam masa kini dan endapan yang diperkirakan merupakan produk arus turbid umumnya tidak mengandung matriks (Hollister & Heezen, 1964). Pembahasan-pembahasan teoritis (Kuenen, 1966) juga menunjukkan bahwa endapan yang mengandung matriks tidak lebih dari 10%.
Gagasan lain yang dirancang untuk menjelaskan munculnya matriks dalam pasir adalah infiltrasi lumpur setelah pasirnya sendiri diendapkan; infiltrasi itu sendiri terjadi akibat adanya pergerakan air pengisi ruang pori yang berasal dari lapisan-lapisan yang terletak di atas dan di bawah endapan yang mengandung matriks itu (Emery, 1964; Klein, 1963).
Matriks jelas merupakan produk rekristalisasi dan sejak lama diketahui bahwa sebagian matriks bereaksi dengan partikel detritus yang ada disektiarnya. Batas-batas kuarsa yang rusak akibat kerja air dapat hilang seluruhnya; batas-batas yang terlihat sekarang merupakan jenis chevaux-de-frise dari kristal klorit berwarna hijau yang masuk menembus kuarsa transparan. Fakta seperti yang disebutkan terakhir ini telah diketahui sejak lama oleh Greenly (1897) serta didukung oleh ahli lain (Krynine, 1940). Irving dan Van Hise (1892) menisbahkan matriks pada “… alterasi felspar menjadi material mikaan.” Baru-baru ini, Cummins (1962) menisbahkan semua, atau hampir semua, matriks pada diagenesis. Dia menyatakan bahwa sebagian besar turbidit Tersier dan Resen tidak mengandung matriks dalam jumlah yang relatif banyak sebagaimana terlihat dalam turbidit Paleozoikum dan Prakambrium. Turbidit Paleozoikum dan Prakambrium diasumsikan telah terkubur jauh di dalam bumi dan mengalami meta-morfosa sedemikian rupa sehingga material penyusun yang labil, terutama fragmen batuan dan felspar, terubah (gambar 7-7). Apabila pasir masa kini, yang secara kimia mirip dengan graywacke (Hawkins & Whetten, 1969), dikenai oleh tekanan 1 kb maka dalam pasir itu akan terbentuk graywacke sintetis. Percobaan tersebut, bersama-sama dengan hasil penelitian Brenchley (1969), yang menunjukkan bahwa matriks sebagian volcanic graywacke Ordovisium rata-rata menyusun 40–60% ruah batuan tidak akan ada apabila dalam batuan tersebut terdapat semen kalsit, mengindikasikan bahwa matriks terbentuk akibat proses-proses diagenesis. Semen kalsit agaknya menghambat pembentukan matriks.
Hingga disini kita dapat menyimpulkan bahwa matriks dapat terbentuk oleh beberapa cara. Sebagaimana dikemukakan oleh Dickinson (1970), kita dapat mengenal adanya protomatriks (protomatrix), ortomatriks (orthomatrix), epimatiks (epimatrix), dan matriks semu (pseudomatrix). Protomatriks adalah lempung detritus yang terjebak diantara partikel-partikel pasir. Ortomatriks merupakan material hasil rekristalisasi. Epimatriks adalah material hasil perubahan diagenetik terhadap partikel berukuran pasir. Matriks semu adalah material hasil deformasi dan penekanan fragmen pelit yang lunak. Meskipun dapat terbentuk oleh salah satu cara tersebut di atas, namun matriks dalam graywacke tua agaknya merupakan epimatriks yang terbentuk akibat meta-morfisme tingkat rendah atau diagenesis tingkat tinggi yang berlangsung jauh di dalam bumi. Proses terbentuknya matriks seperti itu dinamakan oleh Kuenen (1966) sebagai graywackezation.
Masalah Soda
Tingginya kadar Na2O dalam graywacke telah diterangkan dengan banyak cara (Engel & Engel, 1953).
Natrium oksida agaknya terutama terdapat dalam felspar yang komposisinya mendekati albit. Tanner Graywacke (Helmbold, 1952), misalnya saja, mengandung 3,5% Na2O yang, jika terkandung dalam albit, hal itu mengindikasikan bahwa albit dalam graywacke itu memiliki kelimpahan sekitar 30%. Hal itu sejalan dengan data pengamatan selama ini yang menunjukkan bahwa graywacke mengandung 30–40% felspar dan bahwa 80–90% diantara felspar itu memiliki komposisi An3-10.
Felspar merupakan komponen detritus. Apakah khuluk felspar yang cenderung berupa albit itu merupakan khuluk asli atau merupakan produk diagenesis? Asosiasi yang erat antara eugeosynclinal graywacke dengan batuhijau (greenstone; spilite) mengindikasikan bahwa masalah itu erat kaitannya dengan asal-usul spilit (Turner & Verhoogen, 1960). Ada beberapa bukti menunjukkan terjadinya albitisasi pasca-pengendapan. Graywacke mengandung potongan kalsit yang tidak beraturan bersama-sama dengan urat kalsit. Albitisasi felspar mungkin menyebabkan terlepasnya CaO. Selain itu, jika albit merupakan material penyusun asli, mengapa batusabak yang berasosiasi dan berselingan dengan graywacke tidak kaya akan soda? Strata pelitik yang berselingan dengan graywacke dalam beberapa paket graywacke di New Zealand memiliki nisbah Na2O/K2O yang normal, dimana kadar K2O jauh lebih tinggi dibanding Na2O, sedangkan dalam graywacke yang berselingan dengannya justru K2O jauh lebih rendah dibanding Na2O (Reed, 1957). Di lain pihak, batuan plutonik dalam banyak paket endapan eugeosinklin kaya akan soda dan sebagian diantaranya berasosiasi dengan strata pelitik yang memiliki kadar Na2O lebih tinggi dibanding angka normal (Walker & Pettijohn, 1971). Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ketidakhadiran K-felspar merupakan salah satu ciri khas dari graywacke. Ketidakhadiran K-felspar dinisbahkan pada pelarutan dan penghilangan pasca-pengendapan (Gluskoter, 1964).
Masalah Na masih belum terpecahkan.
Keberadaan dan Kebenaan Geologi
Graywacke umumnya ditemukan dalam rekaman geologi tua, sebagian besar berumur Paleozoikum atau lebih tua dari itu, dan umumnya merupakan bagian dari paket endapan yang mirip dengan flysch. Graywacke umumnya berasosiasi dengan batuhijau (Tyrrell, 1933) serta merupakan batupasir tipikal untuk sabuk lipatan eugeosinklin. Graywacke eugeosinklin cenderung kaya akan felspar dan dapat dipandang sebagai bentuk transisi menuju volcanic wacke. Contoh-contoh graywacke Prakambrium adalah paket endapan Arkean di Perisai Canada (Pettijohn, 1934; Donaldson & Jackson, 1965; Walker & Pettijohn, 1971) dan di Perisai Fennoscandia (Simonen & Kuovo, 1951) serta paket endapan Prakambrium “tua” di Afrika Selatan (Anhaeusser dkk, 1969). Contoh-contoh graywacke Paleozoikum adalah graywacke di Wales (Woodland, 1938; Okada, 1967), di Southern Highland, Scotlandia (Walton, 1955), Harz graywacke (Fischer, 1933; Helmhold, 1952; Mattiat, 1960), serta graywacke di New South Wales, Australia (Crook, 1955, 1960). Contoh-contoh graywacke Mesozoikum adalah graywacke di New Zealand (Reed, 1957), Fransiscan di California (Davis, 1918; Taliaferro, 1943; Bailey & Irwin, 1959), serta Kuskokwim graywacke (Kapur) di Alaska (Loney, 1964).
Graywacke juga ditemukan dalam geosinklin dimana vulkanisme jarang atau tidak terjadi. Contoh graywacke yang tidak berasosiasi dengan vulkanisme adalah graywacke dalam Thomson Slate dekat Duluth, Minnesota (Schwartz, 1942) dan Chelmsford Sandstone di Sudbury, Ontario, Canada (Williams, 1957). Formasi Martinsburg (Ordovisium) di bagian tengah Pegunungan Appalachia (McBride, 1962), graywacke dalam Normanskill Slate (Ordovisium) di New York (Weber & Middleton, 1961), serta Formasi Haymond (Karbon Akhir) di Texas (McBride, 1966) merupakan contoh graywacke Paleozoikum yang baik. Graywacke yang lebih muda antara lain graywacke Kapur di Jepang (Shiki, 1962; Okada, 1960, 1961) serta banyak graded sandstone di Pegunungan Appenine, Itali (Sestini, 1970). Semua contoh graywacke tersebut di atas merupakan graywacke miogeosinklin yang dicirikan oleh melimpahnya fragmen batuan; bukan oleh melimpahnya felspar.
Sebagai kesimpulan, graywacke (sebagaimana didefinisikan dalam buku ini) membentuk 1/5 hingga 1/4 batupasir serta paling banyak ditemukan dalam sabuk orogen Paleozoikum atau sabuk orogen Prakambrium. Graywacke tidak ditemukan dalam paket endapan kraton atau daerah perisai yang tidak terdeformasi. Sebagian besar graywacke merupakan endapan laut dan, dalam contoh-contoh yang disitir di atas, diyakini merupakan pasir turbidit yang termasuk ke dalam fasies flysch. Walau demikian, tidak semua pasir flysch dan tidak semua pasir turbidit merupakan graywacke.
Batupasir Kuarsa
Definisi-Definisi Batupasir Kuarsa
Semua pasir terigen kaya akan kuarsa; tidak banyak kasus yang menunjukkan bahwa kuarsa bukan merupakan material utama penyusun batupasir. Karena itu, hampir semua batupasir dapat dinamakan batupasir kuarsa. Walau demikian, dalam batupasir tertentu, kuarsa hampir menjadi satu-satunya tipe komponen. Pasir seperti itu dinamakan ortokuarsit (orthoquartzite) oleh Tieje (1921). Istilah itu kemudian dipopulerkan dan didefinisikan secara cermat oleh Krynine (1945) yang menerapkan istilah tersebut untuk menamakan pasir yang seluruhnya disusun oleh partikel kuarsa yang tersemenkan oleh silika. Batuan seperti itu pada dasarnya merupakan kuarsit dalam pengertian tradisional, yakni batuan yang, apabila pecah, maka bidang-bidang pecahan akan memotong partikel-partikel kuarsa, bukan melalui sisi-sisinya. Batuan seperti itu bukan batuan metamorf (atau, dengan kata lain, bukan metakuarsit), melainkan merupakan batuan sedimen (atau, dengan kata lain, ortokuarsit). Sebagaimana ditekankan oleh Krynine (1948), banyak ortokuarsit mengandung semen karbonat. Sejalan dengan makin berkurangnya proporsi material non-silikaan dalam ortokuarsit, maka kohesivitas batuan itu juga makin menurun. Dengan demikian, meskipun istilah ortokuarsit memiliki pengertian yang lebih luas hingga mencakup batuan yang tidak terlalu kohesif seperti itu, bahkan mencakup pula pasir kuarsa masa kini yang lepas, namun perluasan seperti itu menimbulkan kerancuan dan kontroversi karena ber-tentangan dengan konsep lama mengenai “kuarsit” sebagai batuan yang sangat kompak (Mathur, 1958). Istilah lain yang diusul-kan untuk menamakan batuan seperti itu adalah batupasir kuarsa (quartz arenite) (Williams dkk, 1954), batupasir kuarsa (quartzarenite) (McBride, 1963). Istilah ortokuarsit digunakan secara luas selama bertahun-tahun, namun literatur masa kini menunjukkan bahwa istilah tersebut secara berangsur-angsur digantikan posisinya oleh istilah batupasir kuarsa (quartz arenite).
Kemas dan Komposisi
Sebagaimana didefinisikan di sini, batupasir kuarsa adalah pasir yang disusun oleh partikel detritus, dimana paling tidak 95% diantara partikel detritus itu berupa kuarsa. Partikel-partikel itu umumnya tersemenkan oleh kuarsa yang memperlihatkan kesinambungan optik dengannya. Pada kondisi seperti itu, batupasir kuarsa benar-benar merupakan ortokuarsit. Batupasir kuarsa yang lain tersemenkan oleh kalsit atau tidak tersemenkan sama sekali. Varietas batupasir kuarsa yang tersemenkan oleh kuarsa sangat resisten terhadap erosi dan, oleh karena itu, seringkali membentuk punggungan. Banyak batupasir kuarsa merupakan endapan selimut yang relatif tipis. Sebagian lain cukup tebal (ketebalannya sekitar 1000 m), terutama batupasir kuarsa Prakambrium. Gelembur dan graded bedding banyak ditemukan dalam batupasir kuarsa.
Kuarsa dalam ortokuarsit umumnya berupa kuarsa monokristalin. Kuarsa polikristalin relatif kurang stabil dibanding kuarsa monokristalin sehingga banyak diantaranya hilang selama berlangsungnya proses-proses pembentukan batupasir kuarsa (Blatt, 1967). Karena itu pula, kuarsa dalam batupasir kuarsa seringkali memperlihatkan pemadaman yang tajam, bukan pemadaman bergelombang (Blatt & Christie, 1963). Kuarsa dalam batupasir kuarsa terpilah sangat baik dan membundar. Karena itu, batu-pasir kuarsa merupakan tipe batuan klastika yang secara tekstural maupun komposisional memiliki tingkat kematangan yang paling tinggi.
Material lain jarang ditemukan dalam batupasir kuarsa. Material yang biasa hadir dalam batupasir kuarsa adalah partikel rijang atau fragmen kuarsit. Mineral berat sangat jarang ditemukan dalam batupasir kuarsa dan, kalaupun ada, biasanya berupa partikel turmalin dan zirkon yang membundar baik, meskipun ilmenit dan rutil masih mungkin ditemukan (atau leucoxene yang berasal dari rutil dan ilmenit).
Silika merupakan jenis material yang biasa berperan sebagai penyemen dalam bapasir kuarsa. Silika itu biasanya diendap-kan sebagai kuarsa yang memperlihatkan kesinambungan optik dan kristalografi dengan kuarsa detritus. Dalam pasir yang tidak tersemenkan sepenuhnya oleh silika, kuarsa sekunder memperlihatkan faset-faset kristal yang memantulkan cahaya sedemikian rupa sehingga batupasir itu akan tampak berkilauan di bawah sinar matahari. Kristal kuarsa hasil pertumbuhan sekunder menjadi material pembatas ruang pori dalam batupasir kuarsa. Dalam pasir yang lebih mudah diremas, partikel kuarsa memper-lihatkan ujung-ujung piramidal yang berkembang baik. Pengamatan terhadap batupasir kuarsa menunjukkan bahwa ujung-ujung piramidal itu lebih kurang berimpit dengan sumbu panjang dari kuarsa detritus yang berperan sebagai “inti”. Hasil akhir dari proses pembesaran partikel kuarsa seperti tersebut di atas adalah menurunnya volume ruang pori serta tumbuhnya partikel-partikel kuarsa yang saling berdampingan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan pola saling kesit (interlocking); jejak batas-batas partikel detritus biasanya ditandai oleh suatu garis inklusi. Dalam sejumlah batupasir kuarsa, “cincin debu” (“dust ring”) tersebut sangat samar, bahkan tidak terbentuk sama sekali. “Cincin debu” itu paling jelas terlihat apabila partikel detritus yang mengalami pertumbuhan itu semula terselimuti oleh material oksida besi.
Banyak ortokuarsit memperlihatkan gejala tekanan-pelarutan dalam bentuk pita stilolit (stylolitic seam) (Heald, 1955) dan kontak mikrostilotit (microstylolitic grain contact). Kontak tersebut biasanya melibatkan partikel-partikel rijang. Pressure solution membantu mentransformasikan pasir kuarsa menjadi kuarsit. Proses tersebut telah dijelaskan secara mendetil oleh Skolnick (1965). Proses yang sama dapat terjadi apabila pasir kuarsa lepas dikenai oleh tekanan tinggi dan peningkatan temperatur jika dalam ruang-ruang pori terdapat larutan yang sesuai (Maxwell, 1960; Ernst & Blatt, 1964). Walau demikian, kenampakannya sangat menyesatkan. Ortokuarsit, apabila diamati dengan menggunakan teknik luminescence microscopy, memperlihatkan bahwa banyak kasus yang diasumsikan merupakan kasus pressure solution sebenarnya tidak lebih dari sekedar produk akhir dari pembesaran partikel kuarsa (Sippel, 1968).
Sebagian batupasir kuarsa tersemenkan oleh silika lain, misalnya opal dan kalsedon, yang membentuk selimut pada partikel-partikel detritus. Semen kalsedon dapat berwujud serat-serat halus, dimana arah penyeratannya tegak lurus terhadap permukaan partikel. Secara umum, semen opal hanya ditemukan secara terbatas pada batupasir yang sangat muda. Dalam batupasir yang relatif tua, semen opal mengalami devitrifikasi yang terubah menjadi kalsedon.
Batupasir kuarsa yang relatif muda juga dapat tersemenkan oleh karbonat, terutama kalsit (meskipun kadang-kadang juga oleh dolomit). Dalam batupasir seperti itu, setiap ruang pori terisi, atau terisi sebagian, oleh satu kristal karbonat. Dalam kasus yang luar biasa, kristal karbonat yang tumbuh dalam ruang pori itu dapat demikian besar dan menyelimuti sejumlah partikel detritus. Hal itu menyebabkan terbentuknya batupasir yang tampak berbintik-bintik. Sebagaimana telah dikemukakan sebelum-nya, semen karbonat dapat menembus dan mengkorosi partikel kuarsa detritus.
Sejalan dengan kehadiran felspar, batupasir secara berangsur berubah statusnya dari batupasir kuarsa menjadi subarkose atau, jika fragmen batuan muncul dalam jumlah yang relatif banyak, menjadi protokuarsit (protoquartzite; sublitharenite). Transisi itu juga dicirikan oleh kemunculan kuarsa polikristalin dalam jumlah yang cukup banyak serta oleh kehadiran partikel kuarsa yang agak menyudut.
Ortokuarsit dan batupasir lain yang berkaitan dengannya jarang yang mengandung fosil. Dalam ortokuarsit, dengan pengecualian ortokuarsit yang kaya akan material karbonatan, cangkang karbonat jarang dapat terawetkan dengan baik. Agregat kalsit dapat tersebar secara tidak merata dalam ortokuarsit. Agregat seperti itu ditafsirkan sebagai material penyusun rangka organisme yang telah mengalami pelarutan dan represipitasi. Krynine (1940) menemukan efek pelarutan parsial pada rangka organisme, khususnya penipisannya, serta sementasi lengkap pada pasir yang ada dalam rangka tersebut oleh kalsit.
Sebagaimana diperlihatkan pada tabel 7-10, batupasir kuarsa dan batupasir lain yang berkaitan dengannya sangat kaya akan SiO2. Pada beberapa kasus, batupasir kuarsa hanya mengandung oksida lain dalam jumlah yang jauh lebih kecil dari 1%. Batupasir seperti itu merupakan salah satu bentuk konsentrasi silika yang paling besar dan paling murni yang pernah dikenal selama ini. Batupasir seperti itu merupakan sumber silika komersil dan, jika mengandung besi dalam jumlah yang cukup rendah, sesuai untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kaca. Batupasir yang mengandung relatif banyak semen karbonat akan mengandung CaO dan CO2 dalam jumlah yang cukup tinggi dan, dalam beberapa kasus, juga mengandung MgO, sejalan dengan berkurangnya kadar SiO2. Varietas batupasir yang berbutir halus, dan batupasir kuarsa yang merupakan bentuk transisi menuju subarkose dan protokuarsit, akan mengandung Al2O3 dan K2O dalam jumlah yang relatif tinggi.
7.5.4.3 Penyebaran dalam Ruang dan Waktu
Ortokuarsit ditemukan di banyak tempat dalam paket endapan yang umurnya beragam. Walau demikian, kelihatannya ortokuarsit paling banyak ditemukan dalam endapan Prakambrium dan Paleozoikum awal. Endapan Arkean agaknya tidak terlalu banyak mengandung ortokuarsit. Contoh endapan Prakambrium seperti itu adalah Sioux Quartzite di Minnesota, Iowa, dan South Dakota (Rothrock, 1944); Baraboo dan Waterloo quartzite di Wisconsin (Brett, 1955), Sturgeon Quartzite dan Mesnard Quartzite di Michigan; Palms Quartzite di Wisconsin dan Michigan; Upper Lorain Quartzite di pesisir utara Danau Huron, Ontario (Hadley, 1968); serta Odjick Formation di Northwest Territories (Hoffman dkk, 1970). Endapan-endapan itu memiliki ketebalan 1000 m atau lebih dan umumnya mengandung struktur lapisan silang-siur dan gelembur. Sedimen pelitik jarang yang menyisip diantara lapisan-lapisan ortokuarsit tersebut, bahkan tidak ada sama sekali. Contoh lainnya adalah Sibley Sandstone (Keweenawan) di Thunder Bay, Danau Superior, dan Hinckley Sandstone (Thiel & Dutton, 1935) di Minnesota. Athabaska Formation di bagian utara Saskatchewan (Fahrig, 1961, yang melingkupi daerah seluas 104.000 km2, dan Thelon Formation dengan luas penyebaran yang lebih kurang sama di Northwest Territories (Donaldson, 1967) adalah batupasir kuarsa Prakambrium akhir.
Endapan Paleozoikum awal di Amerika Serikat banyak yang berupa batupasir kuarsa. Berbeda dengan batupasir kuarsa Prakambium, batupasir kuarsa Paleozoikum awal tidak tersemenkan dengan baik, jauh lebih tipis, namun tersebar cukup luas. Pada Upper Mississippi Valley dapat ditemukan endapan Kambro-Ordovisium seperti Dresbach, Franconia, dan Jordan sandstones (Graham, 1930), endapan Ordovisium seperti New Richmond dan St. Peter sandstones (Dake, 1921; Thiel, 1935). Di bagian tengah Pegunungan Appalachia, ditemukan Gratesburg dan Chickies Quartzite yang berumur Kambrium serta Oriskany sandstone yang berumur Devon. Keduanya merupakan contoh yang baik dari batupasir kuarsa. Tulip Creek sandstone (Ordovisium) di Pegunungan Arbuckle, Oklahoma, serta Blakeley dan Crystal Mountain sandstones di Pegunungan Ouachita juga merupakan ortokuarsit. Contoh batupasir kuarsa di bagian barat Amerika Serikat adalah Flathead Quartzite (Kambrium) di Wyoming, Eureka Quartzite (Ordovisium) di Nevada, serta Swan Peak Quartzite di Idaho (Ketner, 1966). Contoh batupasir kuarsa Paleozoikum akhir antara lain Tensleep Sandstone di Wyoming dan Casper Formation dan Weber Quartzite di Utah.
Dakota Sandstone (Kapur) di Great Plains dan beberapa pasir Tersier yang relatif tipis, misalnya Cohansey sandstone di New Jersey (Carter, 1972), juga merupakan batupasir kuarsa.
Contoh batupasir kuarsa di Eropa adalah Hardebergs sandstone di Swedia (Hadding, 1929), Malvern Quartzite (Kambrium) di Inggris, serta batupasir Lauhavuori di Finlandia (Simonen & Kuovo, 1955). Beberapa batupasir Kapur, termasuk didalamnya Quadersandstein di Pegunungan Harz (Rinne, 1923), merupakan contoh yang baik untuk batupasir kuarsa. Fountainebleau Sandstone (Tersier) di Prancis (Cayeux, 1929) juga merupakan contoh yang baik untuk batupasir kuarsa.
Dari penjelasan singkat di atas, jelas sudah bahwa batupasir kuarsa sering ditemukan (batupasir itu mungkin menyusun 1/3 semua batupasir), bahwa sebagian besar batupasir kuarsa berumur Prakambrium atau Paleozoikum awal (batupasir kuarsa yang paling tebal adalah batupasir kuarsa Prakambrium), dan bahwa batupasir kuarsa banyak ditemukan di daerah kraton yang stabil. Banyak batupasir kuarsa berasosiasi erat dengan batugamping dan dolomit. Sebagian besar batupasir kuarsa tidak mengandung sisipan serpih. Meskipun ortokuarsit merupakan batupasir yang khas untuk daerah perisai yang stabil, namun sebagian batupasir kuarsa juga menyebar hingga tepi sabuk miogeosinklin. Banyak ahli menafsirkan bahwa batupasir seperti itu sebenarnya dulu diendapkan di daerah stabil. Ortokuarsit juga tidak pernah ditemukan dalam fasies eugeosinklin, meskipun ada pengecualian untuk itu. Ketner (1966), misalnya saja, menemukan ortokuarsit Ordovisium (yakni Valmy Formation) dalam mandala eugeosinklin di Nevada, di tempat mana ortokuarsit berasosiasi dengan batuhijau (greenstone) dan rijang berlapis.
Asal-Usul dan Kebenaan Geologi
Tingginya kadar kuarsa dan sempurnanya pemilahan dan pembundaran yang diperlihatkan oleh ortokuarsit merupakan indikator dari tingginya kematangan komposisi dan tekstur dari batupasir itu. Batuan itu jelas merupakan produk akhir dari pelapukan, pemilahan, dan abrasi. Agar tersedia waktu yang memungkinkan terbentuknya produk seperti itu, maka daerah sumber dan tempat pengendapan batupasir itu kemungkinan besar merupakan daerah yang secara tektonik bersifat stabil atau batupasir itu telah mengalami beberapa kali siklus sedimentasi. Sebagian besar ahli, berdasarkan hasil penelitian eksperimental mengenai abrasi pasir (Kuenen, 1959b) serta berdasarkan hasil penelitian terhadap berbagai sungai masa kini, misalnya Sungai Mississippi (Russell & Taylor, 1937; Russell, 1937), berpendapat bahwa tipe batupasir kuarsa sebagaimana yang ditemukan dalam rekaman geologi tidak akan pernah dapat dihasilkan oleh aksi sungai, berapapun lamanya proses itu berlangsung.
Kuenen (1960) menyimpulkan bahwa pembundaran pasir hanya dapat tercapai pada lingkungan eolus dan bahwa tingginya pembundaran pasir mengindikasikan bahwa pasir itu suatu saat pernah berperan sebagai endapan eolus, meskipun hal itu tidak berarti bahwa lingkungan pengendapan terakhir dari pasir itu adalah lingkungan eolus. Kesimpulan itu mengimplikasikan bahwa batupasir kuarsa memiliki asal-usul yang kompleks dan bahwa batupasir itu merupakan endapan beberapa siklus sedimentasi. Asal-usul seperti itu sukar untuk dapat diketahui berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam batupasir itu sendiri. Bukti-bukti konklusif seperti worn overgrowth memang pernah ditemukan, namun jarang yang dapat terlihat.
Meskipun Kuenen telah menarik kesimpulan seperti itu, namun hasil-hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa proses pencucian dan winnowing yang berulang-ulang terhadap pasir yang ada pada zona limpasan (surf zone) dapat menghasilkan pasir yang sangat matang. Hasil pengamatan Folk (1960) terhadap perselingan pasir yang membundar baik dengan pasir yang pembundarannya relatif rendah dalam Tuscarora Quartzite (Silur) di West Virginia mengindikasikan bahwa perbedaan kebundar-an itu merupakan produk dari lingkungan pengendapan lokal, dimana pasir yang paling matang ditafsirkan sebagai endapan gisik. Proses pencucian dan winnowing lokal seperti itu tampaknya mampu “membersihkan” pasir.
Sebagian besar pasir masa kini bukan merupakan batupasir kuarsa. Beberapa pengecualian untuk itu (Mizutani & Suwa, 1966) adalah pasir yang berasal dari batupasir kuarsa yang terletak relatif berdekatan dengan tempat pengendapan pasir itu. Kasus seperti itu ditemukan pada beberapa pasir gisik di Gulf Coast, sebelah baratlaut Florida, di tempat mana pasir tersebut mengandung lebih dari 99% silika (Burchard, 1907). Tidak adanya pasir kuarsa masa kini, serta jarangnya ditemukan batupasir kuarsa dalam rekaman geologi yang relatif muda (kecuali mungkin batupasir Kapur), melimpahnya batupasir kuarsa dalam paket endapan Kambrium, serta jarang ditemukannya batupasir kuarsa dalam paket endapan Arkean perlu mendapatkan penjelasan. Seseorang dapat menyimpulkan bahwa ortokuarsit menandai masa-masa stabilitas tinggi—base levelling dan pelapukan yang berlangsung lama. Jika memang demikian halnya, maka bumi sekarang ini (mungkin sejak Kapur) berada dalam kondisi yang tidak stabil dan memiliki relief yang tinggi. Kondisi ketidakstabilan itulah yang kemudian menyebabkan terbentuknya tipe-tipe batupasir lain yang tidak matang. Hubungan antara stabilitas tektonik dengan petrografi batupasir akan dibahas lebih jauh pada bagian akhir dari bab ini.
Batupasir Lain
Ada beberapa tipe batupasir yang tidak termasuk ke dalam kategori-kategori batupasir yang telah dijelaskan di atas. Selain pasir vulkanik dan pasir kabonat, masih terdapat tipe-tipe pasir khusus seperti pasirhijau (greensand), batupasir fosfat (phosphatic sandstone), batupasir kalkarenit (calcarenaceous sandstone), pasir plaser (placer sand), dan itacolumit (itacolumite).
Pasir hijau
Istilah pasirhijau (greensand) digunakan untuk menamakan pasir yang kaya akan glaukonit. Di bawah suryakanta, pasirhijau yang hampir sempurna akan tampak seluruhnya disusun oleh glaukonit; kelimpahan kuarsa < 1%. Walau demikian, dalam kebanyakan pasirhijau, kuarsa merupakan material penyusun utama dengan kelimpahan 50% atau lebih. Pasir yang terutama disusun oleh glaukonit berwarna hijau muda hingga hijau tua. Pasir campuran memiliki kenampakan seperti garam-dan-merica. Pasirhijau banyak ditemukan dalam endapan Kapur dan Eosen di Dataran Pantai timur Amerika Serikat, terutama di sekitar New Jersey dan Delaware (Ashley, 1918; Mansfield, 1920). Meskipun individu-individu lapisan pasir hijau jarang yang memilki ketebalan lebih dari 7,5 meter, namun umumnya memiliki penyebaran yang cukup luas. Pasirhijau merupakan sumber kalium yang potensial. Komposisi kimia dari beberapa pasirhijau disajikan dalam tabel 7-11. Sebagaimana yang mungkin telah diperkirakan, komposisi pasirhijau sangat bervariasi, tergantung pada proporsi glaukonit dan material detritus lain serta pada jenis dan volume semen yang ada didalamnya.
Asal-usul dan kenampakan pasirhijau erat kaitannya dengan masalah glaukonit. Pengetahuan kita mengenai geologi dan penyebaran glaukonit telah disarikan oleh Hadding (1932), Cloud (1955), Galliher (1936, 1939), Goldman (1919), Takahashi (1939), dan Schneider (1927). Menurut Cloud (1955), glaukonit hanya terbentuk pada air laut yang salinitasnya normal; pembentukan glaukonit hanya memerlukan sedikit kondisi reduksi (kondisi oksidasi lemah, menurut Chilingar, 1955); pem-bentukannya difasilitasi oleh kehadiran material organik; terbentuk pada perairan yang dalamnya 10-400 depa; hanya terbentuk pada daerah yang laju sedimentasinya rendah; serta terutama terbentuk dari mineral mika atau lumpur dasar laut yang kaya akan besi. Sebagaimana dikemukakan oleh Hadding (1932) dan peneliti lain, tempat pembentukan glaukonit mungkin tidak sama dengan tempat pengendapannya karena glaukonit dapat terombakkan dan terangkut ke tempat lain.
Galliher (1936, 1939) menyimpulkan bahwa glaukonit berasal dari biotit melalui pelapukan bawahlaut. Dia mengamati sejumlah partikel transisi yang menunjukkan transformasi tersebut. Dia juga menyatakan bahwa, di Monterey Bay (California), pasir yang kaya akan biotit dan terletak dekat pesisir kemudian berubah secara berangsur secara horizontal ke arah lepas pantai menjadi pasir lanauan yang disusun oleh campuran mika dengan glaukonit, kemudian berubah lagi menjadi lumpur glaukonit pada kedalaman 100 depa. Gruner (1935) menunjukkan susunan ion dari unit cell glaukonit dan biotit sangat mirip (bahkan mungkin sebenarnya identik) sehingga transformasi biotit menjadi glaukonit tidak memerlukan perubahan yang besar. Meskipun hasil-hasil pengamatan Galliher memperoleh dukungan dari ahli lain yang melakukan penelitian di tempat lain (misalnya Edwards, 1945), namun sebagian glaukonit tampaknya tidak terbentuk dari mika (Allen, 1937). Sebagaimana dikemukakan oleh Takahashi (1939), glaukonit berasal dari sejumlah material, misalnya pelet kotoran; zat lempungan pengisi ruang kosong yang ada dalam foraminifera, radiolaria, dan cangkang organisme laut; atau mineral silikat seperti gelas vulkanik, felspar, mika, atau piroksen. Material organik agaknya menjadi fasilitator proses glaukonitisasi. Material asal mengalami penghilangan alumina, silika, dan alkali (kecuali kalium) dan mendapatkan ferric iron dan kalium. Air laut agaknya merupakan salah satu persyaratan esensil yang memungkinkan terjadinya proses glaukonitisasi.
Meskipun pasir glaukonit dapat ditemukan mulai dari Prakambrium hingga masa sekarang, namun pasir itu agaknya lebih banyak ditemukan dalam endapan Kambrium. Dengan demikian, Kapur tampaknya merupakan zaman glaukonitisasi. Di banyak tempat, misalnya di Dataran Pantai Atlantik, masa pembentukan glaukonit itu terus berlanjut hingga Paleosen dan Eosen.
Batu pasir Fosfat
Material fosfatik, yang umumnya dinamakan kolofan (collophane) dan merupakan fluorapatit karbonat yang tersusun buruk, dapat membentuk semen dalam pasir, namun dapat pula menjadi material penyusun rangka batupasir.
Banyak pasir mengandung sedikit material rombakan fosfatik, material rangka fosfatik, atau nodul dan granul fosfatik. Pasir glaukonit (tabel 7-11) cenderung kaya akan material fosfatik. Dalam beberapa pasir, fosfat berperan sebagai semen (sebagai kristal-kristal renik yang menyelimuti partikel kuarsa atau sebagai material mikrokristalin pengisi ruang-ruang pori) (Bushinsky, 1935; Gressman & Swanson, 1964). Sebagian fosforit merupakan pasir yang disusun oleh granul atau ooid fosfatik yang ber-campur dalam proporsi yang beragam dengan partikel-partikel kuarsa detritus.
Batupasir Kalkarenitan
Batupasir, terutama batupasir kuarsa, berubah secara berangsur menjadi batugamping kalkarenit. Tipe transisi antara keduanya adalah campuran kuarsa detritus dan material rombakan detritus (material rangka dan material oolitik). Istilah batupasir kalkarenitan (calcarenaceous sandstone) disarankan untuk digunakan sebagai nama batupasir seperti itu. Istilah itu diciptakan untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dengan batupasir gampingan (calcareous sandstone). Istilah batupasir gampingan digunakan untuk menamakan batupasir biasa yang tersemenkan oleh material karbonat. Kita juga perlu berhati-hati dalam membedakan kalkarenit dan batupasir kalkarenitan di satu pihak dengan calclithite. Calclithite adalah lithic sandstone yang mengandung material rombakan karbonat terigen.
Pasir masa kini yang ada di beberapa tempat merupakan campuran dari detritus karbonat kimia atau biokimia dengan kuarsa detritus. Di pantai timur Florida, komponen-komponen silikaan diangkut ke selatan oleh shore drift dan bercampur dengan material rombakan cangkang yang terbentuk di tempat itu. Di bagian utara, kuarsa berperan sebagai material penyusun dominan; makin ke selatan, proporsi material karbonat makin banyak (Martens, 1935).
Contoh pasir kalkarenitan purba banyak ditemukan, misalnya Loyalhanna di Pennsylvania (Adams, 1970) dan Greenbrier di West Virginia (Rittenhouse, 1949). Kedua pasir itu berumur Karbon Awal. Loyalhanna disusun oleh sekitar 40–45% kuarsa, 35% karbonat detritus, dan 30% semen karbonat. Komposisi kimia batuan ini disajikan pada tabel 7-11. Cow Creek Formation (Kapur) di dekat Fredericksburg, Texas, mungkin terbentuk di pantai dan merupakan pasir kalkarenitan.
Pasir Plaser
Pasir plaser (placer sand) merupakan tipe pasir yang jumlahnya relatif tidak banyak. Walau demikian, dilihat dari kacamata mineralogi, pasir itu sangat menarik. Selain itu, meskipun volumenya kecil, namun pasir plaser seringkali memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena kaya akan titanium, zirkon, dan thorium. Plaser merupakan akumulasi lokal yang dihasilkan oleh aksi sungai dan gisik. Pasir plaser biasanya relatif tipis (ketebalannya jarang > 1 atau 2 m) dan memiliki penyebaran yang relatif terbatas.
Contoh pasir plaser gisik masa kini sangat banyak. Pasir plaser di Oregon (Griggs, 1945) memiliki konsentrasi kromit; pasir plaser di Florida dimanfaatkan karena relatif kaya akan ilmenit, zirkon, dan rutil (Martens, 1928). Pasir plaser tua juga relatif banyak dan telah dieksploitasi. Sebagai contoh, pasir Cohansey (Pliosen) di New Jersey telah dieksploitasi karena mengandung rutil (Markewicz, 1969) dan pasir Kapur Akhir di Montana dieksploitasi karena mengandung magnetit dan titan (Stebinger, 1914).
Salah satu tipe batupasir plaser yang luar biasa ditemukan di Rand Basin (Prakambrium), Afrika Selatan, yang mengandung lapisan-lapisan tipis pirit detritus (Ramdohr, 1958).
Itacolumit
Itacolumit (itacolumite) adalah sekis kuarsa yang aneh. Nama Itacolumit sendiri diambil dari nama sebuah gunung di Brazil, yakni Gunung Itacolumi. Menurut Holmes (1928), orang yang pertama-tama memberi nama itacolumit adalah Humboldt. Itacolumit disusun oleh partikel-partikel kuarsa yang saling kesit dan sebagian mika. Itacolumit cukup fleksibel dan, oleh karena itu, sering dinamakan “batupasir fleksibel” (“flexible sandstone”) (Cayeux, 1929; Ginsburg & Lucas, 1949). Sebenarnya, itacolumit mungkin bukan batupasir, melainkan batuan metamorf. Itacolumit juga ditemukan di North Carolina (Foushee, 1954).
DIAGENESIS BATUPASIR
Tidak lama setelah pengendapan, pasir mulai menua dan berubah karakternya. Pasir tidak lagi merupakan material granuler lepas, melainkan tertransformasi menjadi batuan padat. Proses penambahan usia itu kompleks dan belum dapat dipahami sepenuhnya. Sebagian proses itu seluruhnya merupakan proses mekanis: pemecahan partikel, pelengkungan dan deformasi mika detritus, serta penekanan partikel-partikel pelit yang relatif lemah. Walau demikian, proses itu pada dasarnya merupakan proses kimia yang melibatkan pelarutan, represipitasi, dekomposisi, dan reaksi pada ruang antar partikel. Redistribusi material, seperti pelarutan kuarsa pada satu tempat serta presipitasinya di tempat lain, mendorong terjadinya sementasi dan penurunan volume ruang pori. Unsur rangka yang kurang stabil akan terdegradasi dan kehilangan identitasnya, tertransformasi menjadi matriks kristalin, dan kemudian dapat berinteraksi dengan unsur rangka yang relatif stabil. Hasil akhir dari pressure solution, devitrifikasi (pada material opal dan gelas), serta dekomposisi unsur detritus yang tidak stabil adalah terubahnya kemas batuan, hilangnya sebagian atau seluruh porositas, tersamarkannya tekstur asal, dan transformasi batuan menjadi kumpulan mineral yang lebih mendekati kesetimbangan.
Perubahan-perubahan tersebut di atas mempengaruhi pasir dengan cara yang berbeda. Pasir kuarsa murni hanya meng-alami perpindahan larutan kuarsa dan pengkonversian menjadi ortokuarsit. Pasir tidak matang, terutama lithic arenite yang banyak mengandung fragmen batuan yang tidak stabil, terkonversi menjadi graywacke. Pasir vulkaniklastik mungkin mengalami perubahan yang paling dramatis; perubahan itu tidak berbeda dengan perubahan pada retrograde metamorphism.
Gejala-gejala berskala besar seperti load cast, slump fold, dsb yang disebabkan oleh “deformasi sedimen lunak” biasanya tidak dipandang sebagai gejala diagenetik. Diagenesis melibatkan perubahan tekstur dan komposisi, namun tidak menghasilkan struktur. Walau demikian, struktur tertentu seperti konkresi dan stilolit dianggap sebagai produk diagenesis. Dalam buku ini, gejala-gejala segregasi berskala besar—nodul dan konkresi—akan dibahas secara khusus pada Bab 12.
Sementasi
Material yang dipresipitasikan secara kimiawi dan berperan sebagai semen dalam banyak batupasir merupakan material utama penyusun batuan tersebut. Jika ruang pori batuan tersebut kemudian terisi seluruhnya oleh material penyemen, maka semen akan membentuk 1/4 hingga 1/3 ruah batuan. Stratum batupasir yang tebalnya 100 m, misalnya saja, akan mengandung material penyemen yang apabila dikumpulkan dapat membentuk lapisan yang tebalnya 25 hingga 30 m. Selain itu, sementasi merupakan tahap akhir dalam pembentukan batupasir. Pengetahuan kita mengenai sementasi masih belum lengkap dan belum memuaskan; apa yang dewasa ini dianggap sudah cukup dipahami adalah asal-usul dan cara penempatan semen.
Masuknya semen jelas akan mempengaruhi porositas dan permeabilitas batuan. Karena itu, pemelajaran sementasi sangat menarik dilihat dari kacamata pemelajaran pergerakan fluida melalui batuan serta perkiraan mengenai volume total fluida tersebut. Sementasi, jika berlangsung lengkap, akan menghasilkan pasir “ketat” yang tidak mampu menyimpan dan mengalirkan fluida, misalnya air tanah, minyakbumi, dan gasbumi.
Banyak spesies mineral diketahui memegang peranan sebagai material penyemen. Material penyemen yang biasa ditemu-kan adalah silika (umumnya berupa kuarsa). Kuarsa biasanya diendapkan sebagai overgrowth pada permukaan kuarsa detritus. Di bawah kondisi yang relatif luar biasa, silika tidak diendapkan sebagai kuarsa, melainkan sebagai opal atau kalsedon. Batu-pasir dengan semen opal umumnya berumur relatif muda. Faktor-faktor yang memicu pembentukan opal sebagai material penyemen belum dipahami sepenuhnya, meskipun material itu agaknya berkaitan dengan konsentrasi ion (Millot dkk, 1963). Semen opal dalam batupasir Ogallala, Kansas, ditafsirkan merupakan produk replacement pada batupasir yang semula ter-semenkan oleh kalsit (Frye & Swineford, 1946). Lapisan-lapisan debu vulkanik yang berasosiasi dengan formasi itu ditafsirkan merupakan sumber silika yang kemudian memasuki batupasir tersebut. Pasir yang tersemenkan oleh opal umumnya berasosiasi dengan lapisan-lapisan debu vulkanik. Contohnya adalah Formasi Gueydan (Tersier) di Texas (McBride dkk, 1968).
Berbagai karbonat, terutama kalsit, juga sering berperan sebagai material penyemen. Dolomit juga dapat berperan sebagai semen, meskipun tidak sesering kalsit. Meskipun siderit relatif jarang berperan sebagai semen, namun sebenarnya lebih sering daripada apa yang diperkirakan selama ini. Semen siderit jarang ditemukan dalam singkapan semata-mata karena siderit tidak stabil di bawah kondisi atmosfir. Banyak batupasir yang tersemenkan oleh material pengandung besi sebenarnya merupakan batupasir sideritan. Penelaahan terhadap sebagian batupasir yang berbintik-bintik menunjukkan bahwa setiap bintik itu, berupa suatu daerah kecil yang tersemenkan oleh limonit, merupakan produk oksidasi siderit. Sebagian siderit itu masih dapat ditemukan di bagian tengah bintik tersebut.
Oksida besi, dan kadang-kadang sulfida besi, dapat berperan sebagai material penyemen. Silikat yang dapat berperan sebagai semen adalah felspar, kaolinit dan mineral lempung lain, serta zeolit. Meskipun lempung dapat terjebak pada saat pengendapan, namun sebagian kaolinit benar-benar dipresipitasikan sebagai zat kristalin kasar dalam ruang pori (Donaldson, 1967; Carrigy & Mellon, 1964). Zeolit sering ditemukan dalam batupasir vulkanik atau batupasir yang mengandung gelas vulkanik (Hay, 1966; Weeks & Eargle, 1963). Barit dan anhidrit merupakan material penyemen minor yang hanya memegang peranan penting secara lokal.
Hasil penelitian Tallman (1949) terhadap semen batupasir mendukung gagasan lama yang menyatakan bahwa silika merupakan semen yang paling umum dalam batupasir tua, sedangkan silika dan karbonat merupakan semen utama dalam batupasir Mesozoikum dan Kenozoikum. Kebenaan dari hasil pengamatan Tillman itu tidak terlalu jelas. Semen karbonat dalam batupasir tua mungkin telah tergantikan oleh silika, atau mungkin terlindi.
Hubungan antara semen dengan unsur rangka pasir sangat menarik, dan penting, untuk dikaji. Jika mineralogi semen sama dengan mineralogi partikel detritus, maka produk akhir dari secondary overgrowth pada partikel-partikel mineral akan berupa agregat kristalin yang saling kesit. Jika mineralogi semen tidak sama dengan mineralogi partikel detritus, maka keduanya dapat memperlihatkan hubungan tekstur yang beragam. Kalsit dalam batupasir yang tersemenkan sebagian, misalnya saja, dapat diendapkan sebagai selimut partikel-partikel renik (drusy coating) pada partikel detritus, sebagai mosaik diantara partikel-partikel detritus, atau sebagai partikel poikiloblastik yang mengandung banyak partikel detritus (Fuhrmann, 1968). Semen opal dan kalsedon dapat membentuk selimut yang bentuknya mirip dengan agate pada unsur-unsur rangka atau sebagai endapan botryoidal dengan serat-serat yang bentuknya mirip dengan kipas. Semen lain, misalnya kaolin, dapat muncul sebagai material polikristalin membongkah yang mengisi ruang pori.
Pada beberapa kasus, terutama pada kasus semen karbonat, ada reaksi antara semen dengan unsur-unsur rangka. Semen tampaknya “memakan” partikel detritus sebagaimana diperlihatkan oleh kontak yang tidak beraturan dan kontak “teluk” antara semen dengan unsur rangka. Pada beberapa tempat, hal itu berlangsung demikian jauh sedemikian rupa sehingga partikel asal hanya tersisa sebagai jejak-jejak mineral sisa yang terorientasi dan yang mengalami pemadaman secara bersama-sama. Rijang, felspar, bahkan kuarsa, rentan terhadap korosi seperti itu dan dapat digantikan oleh karbonat.
Semen biasanya mengisi semua atau sebagian ruang pori yang ada dalam pasir (gambar 7-8). Dalam beberapa kasus, semen karbonat dalam batupasir memiliki volume yang luar biasa banyaknya sehingga menyamai bahkan melebihi volume kuarsa detritus. Pada kondisi seperti itu, partikel-partikel kuarsa detritus itu tampak “mengambang” diantara semen karbonat (gambar 7-8C). Menurut sebagian ahli, hal itu terjadi akibat rekristalisasi karbonat detritus yang semula diendapkan bersama-sama dengan kuarsa detritus. Waldschmidt (1941) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena pertumbuhan semen yang pada gilirannya mendorong partikel-partikel kuarsa detritus untuk terpisah satu dari yang lain. Hal itu juga dapat terjadi akibat korosi dan penggantian partikel-partikel detritus oleh semen karbonat sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Sebagian batupasir memiliki lebih dari satu spesies mineral penyemen. Pada kasus seperti itu, adalah suatu hal yang penting untuk menentukan paragenesis atau umur relatif dari setiap semen itu. Waldschmidt (1941) berkeyakinan bahwa ada suatu urutan presipitasi dalam batupasir Rocky Mountain yang dipelajarinya. Kalsit terbentuk setelah kuarsa; jika ada tiga material penyemen, maka yang pertama kali terbentuk adalah kuarsa, kemudian diikuti oleh dolomit, dan terakhir kalsit. Jika ada empat material penyemen, maka yang pertama kali terbentuk adalah kuarsa, kemudian dolomit, berikutnya adalah kalsit, dan terakhir adalah anhidrit. Dalam beberapa batupasir yang mengandung tiga spesies semen, urut-urutannya adalah kuarsa, dolomit, dan anhidrit. Heald (1950), berdasarkan hasil penelitiannya terhadap batupasir Paleozoikum di West Virginia, juga menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kalsit terbentuk setelah kuarsa. Walau demikian, berdasarkan hasil penelitian-nya terhadap batupasir Tersier di California, Gilbert (1949) menemukan bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa dolomit (dan dalam beberapa kasus juga kalsit) terbentuk lebih dahulu dibanding kuarsa.
Secara umum, urut-urutan presipitasi beberapa mineral penyemen dapat ditentukan berdasarkan prinsip yang menyatakan bahwa mineral yang terbentuk lebih dahulu akan memiliki bentuk yang lebih baik atau perawakan yang lebih euhedral serta akan lebih dekat dengan dinding ruang pori dibanding mineral yang terbentuk kemudian. Mineral yang terbentuk terakhir kali akan menutupi ruang-ruang yang belum terisi oleh semen sehingga bentuknya akan mengikuti ruang yang ada. Namun, dapatkah diasumsikan bahwa mineral-mineral itu terbentuk dalam ruang kosong? Hadding (1929), Cayeux (1929), dan Swineford (1947) memaparkan adanya batupasir yang pertama-tama tersemenkan oleh kalsit, namun semen itu kemudian digantikan oleh kuarsa. Bukti proses penggantian seperti itu adalah adanya inklusi kalsit dalam kuarsa sekunder. Dengan demikian, euhedralisme mungkin bukan merupakan petunjuk yang pasti untuk menentukan umur relatif mineral.
Masalah bagaimana dan kapan pasir menjadi tersemenkan serta sumber material penyemen masih belum dapat terpecah-kan. Banyak ahli sejak lama memperkirakan bahwa air meteorik (meteoric water) atau air artesis (artesian water) membawa material penyemen ke dalam batupasir dan kemudian mengendapkan silika atau karbonat. Memang, para ahli telah mengetahui bahwa airtanah membawa material tersebut dalam bentuk larutan, bahwa ada aliran artesis dalam batuan, dan bahwa material tersebut dapat terpresipitasikan dari larutan. Van Hise (1904) membahas masalah tersebut secara panjang lebar. Dia memper-kirakan bahwa silika (atau material penyemen lain) terlarutkan dalam zona pelapukan, kemudian diendapkan kembali dalam batupasir sebagai semen. Walau demikian, Van Hise menyatakan bahwa kadar silika dalam airtanah sangat rendah. Kadar silika dari air yang berasal dari igneous terrane berkisar mulai dari sekitar 10 ppm hingga sekitar 70 ppm (White dkk, 1963). Dengan mengambil angka 20 ppm sebagai contoh kasus, Van Hise memperkirakan bahwa untuk dapat menyemen 1 mil kubik pasir yang memiliki porositas 26%, akan diperlukan 130.000 mil kubik airtanah. Karena sebagian batupasir, terutama batupasir dalam cekungan struktur yang dalam, terisi oleh air garam, banyak ahli memperkirakan bahwa tidak ada air meteorik yang bersirkulasi melalui batuan tersebut. Jadi, untuk menjelaskan pembentukan semen dalam batuan tersebut, kita perlu memikirkan kemungkin-an sumber lain untuk material penyemen tersebut.
Johnson (1920) berpendapat bahwa silika yang menjadi material penyemen mungkin berasal dari air konat (connate water). Air konat pada dasarnya adalah air laut yang terjebak dalam batuan. Karena air laut rata-rata mengandung silika dalam proporsi yang lebih rendah dibanding air tanah (rata-rata hanya mengandung silika sekitar 4 ppm), jelas sudah bahwa air konat dalam batupasir tidak dapat menghasilkan silika dalam jumlah yang memadai untuk menyebabkan tersemenkannya batupasir. Karena itu, dia berpendapat bahwa air konat yang ada dalam serpih mungkin merupakan sumber dari silika. Serpih pada mulanya memiliki porositas yang lebih tinggi dibanding pasir serta mengalami kompaksi yang jauh lebih besar dibanding pasir. Selama berlangsungnya kompaksi, fluida yang terjebak dalam pori-pori serpih akan diperas keluar. Lapisan-lapisan batupasir yang berselingan dengan serpih itu dapat berperan sebagai saluran tempat keluarnya air konat. Di bawah temperatur yang relatif tinggi, sejalan dengan bertambahnya kedalaman, air yang terkandung dalam serpih dapat mengandung silika dalam jumlah yang lebih tinggi dibanding angka normal. Silika itulah yang kemudian diendapkan dalam ruang-ruang pori batupasir sebagai semen. Di beberapa tempat, interstitial water dari lempung laut-dalam masa kini dapat dijenuhi oleh silika (hingga sekitar 80 ppm). Walau demikian, tingginya kadar silika dalam air itu mungkin terjadi akibat pelarutan cangkang diatom (Siever dkk, 1965). Sumber yang lebih mungkin untuk silika adalah transformasi pasca-pengendapan yang menyebabkan terubahnya monmorilonit dan/atau ilit-monmorilonit dari serpih menjadi ilit; transformasi itu menyebabkan keluarnya silika (Towe, 1962). Transformasi tersebut terjadi pada tempat yang sangat dalam. Kehadiran ilit dalam serpih tua mengindikasikan bahwa mekanisme tersebut berlangsung dalam skala luas. Pengamatan-pengamatan yang dilakukan oleh Füchtbauer (1967b) terhadap sementasi kuarsa dalam batupasir Dogger, dimana tingkat sementasi makin tinggi ke bagian lapisan batuan yang berbatasan dengan serpih, mendukung konsep yang menyatakan bahwa air yang lewat jenuh akan silika berasal dari serpih. Walau demikian, banyak batupasir yang tersemenkan tidak berasosiasi dengan serpih. Bagaimana batupasir seperti itu dapat tersemenkan?
Kesulitan-kesulitan dalam menisbahkan semen, baik pada air artesis maupun pada air yang dilepaskan dari serpih, telah memicu sebagian ahli untuk mencari sumber internal yang memungkinkan terbentuknya silika. Waldschmidt (1941) adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat bahwa silika yang berperan sebagai semen dalam batupasir berasal dari dalam tubuh batupasir itu sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh Gilbert (1949) dan beberapa ahli lain. Waldschmidt (1941) menyimpulkan bahwa larutan silika pada titik-titik kontak partikel dan presipitasi larutan itu pada ruang pori yang berdekatan dengan titik kontak tersebut merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap pembentukan batupasir yang tersemenkan oleh silika. Konsep itu pada dasarnya merupakan penerapan prinsip Riecke (Riecke’s principle) pada batuan yang bukan merupakan batuan metamorf. Batas-batas partikel kuarsa yang saling kesit digunakan oleh Waldschmidt sebagai bukti bahwa proses tersebut di atas memang terjadi dalam batupasir. Kontak cekung-cembung antara partikel-partikel kuarsa (yang analog dengan pitted pebbles dalam beberapa konglomerat; lihat Kuenen, 1942) serta batas-batas sutura (mikrostilolitik) antara partikel-partikel lain tampaknya mendukung gagasan Waldschmidt tersebut (Sloss & Feray, 1948; Thomson, 1959; Trurnit, 1968). Jika konsep itu benar adanya, maka kita akan menemukan adanya hubungan antara efek-efek pelarutan dan sementasi dengan kedalaman (serta peningkatan tekanan dan kedalaman sejalan dengan bertambahnya kedalaman). Beberapa peneliti (Taylor, 1950; Maxwell, 1964; Füchtbauer, 1967a) memperlihatkan atau mempostulasikan hubungan seperti itu. Hubungan itu diwujudkan oleh penurunan porositas sejalan dengan bertambahnya kedalaman. Hasil penelitian Taylor (1950) sangat menarik. Dia melakukan pengamatan langsung terhadap khuluk dan jumlah kontak antar partikel sejalan dengan bertambahnya kedalaman dan menyimpulkan bahwa batupasir mengalami proses “kondensasi” sedemikian rupa sehingga kontak antar individu partikel berubah dari kontak tangensial, menjadi kontak cekung-cembung, dan kemudian menjadi kontak sutura. Dengan demikian, jumlah kontak antar partikel sebagaimana yang terlihat dalam sayatan tipis akan meningkat dari 1,6 dalam pasir yang tidak terkonsolidasi menjadi 2,5 pada kedalaman 2885 kaki (sekitar 879 m) dan menjadi 5,2 pada kedalaman 8343 kaki (sekitar 2543 m) (gambar 7-9). Taylor berkeyakinan bahwa perubahan-perubahan itu terjadi akibat pelarutan intrastrata serta akibat aliran padat partikel-partikel kuarsa. Pada kasus aliran padat partikel-partikel kuarsa, volume ruang pori akan berkurang tanpa harus disertai dengan presipitasi kimia. Bukti-bukti adanya tekanan, misalnya pelengkungan mika dan terpecahnya partikel-partikel kuarsa, sering ditemukan. Walau demikian, aliran padat itu sendiri sukar untuk dibuktikan dan kontak cekung-cembung mungkin merupakan efek pelarutan. Di lain pihak, hubungan antara pressure solution dengan beban dalam batupasir Karbon Akhir di bagian timur Amerika Serikat yang diteliti oleh Siever (1959) tidak memberikan kesimpulan yang konklusif. Percobaan-percobaan yang dilakukan oleh Fairbairn (1950), Maxwell & Verrall (1954), Borg & Maxwell (1956), Maxwell (1960), Ernst & Blatt (1964), serta Heald & Renton (1966) menunjukkan bahwa pelarutan dan pengendapan-ulang silika dalam suatu sistem tertutup merupakan suatu realitas dan bahwa sementasi pasir dapat dicapai melalui transfer internal seperti itu.
Bukti petrografi dari pelarutan pada kontak antar partikel tidak selalu jelas. Dalam banyak kasus, tidak ada atau hanya sedikit terlihat adanya penetrasi terhadap partikel. Dalam kebanyakan kasus batas sutura pada kuarsa, batas-batas partikel kuarsa asal sukar atau tidak dapat teramati. Selain itu, Sippel (1968) menunjukkan bahwa partikel-partikel detritus asal dalam sebagian batupasir itu jelas terlihat dengan cathodeluminescence microscopy dan bahwa tidak terjadi penetrasi batas-batas partikel. Kuarsa sekunder hampir dapat dipastikan berasal dari hasil pelarutan pada kontak antar partikel. Pye (1944) dan Goldstein (1948) berpendapat bahwa sebagian atau sebagian besar semen silika berasal dari larutan material halus yang semula terkandung dalam pasir. Para ahli umumnya telah mengetahui bahwa, dalam satu larutan tertentu, partikel halus dapat terlarutkan pada waktu yang bersamaan dengan pertumbuhan partikel besar. Karena itu, partikel besar dalam suatu batupasir mungkin tumbuh sejalan dengan penghilangan partikel halus. Walau demikian, karena partikel halus tidak lagi dapat terlihat dalam batuan tersebut, sukar bagi kita untuk membuktikan kesahihan konsep tersebut. Heald (1955, 1956a) berpendapat bahwa silika berasal dari pelarutan intrastrata pada lapisan-lapisan stilolitik. Stilolit sebenarnya jauh lebih sering ditemukan dalam batupasir daripada yang diperkirakan semula dan pelarutan pada lapisan tersebut mungkin menghasilkan silika yang diperlukan untuk sementasi.
Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap Oriskany sandstone (Devon) dan batupasir lain di Appalachia, Krynine (1941), yang berpendapat bahwa baik pelarutan intrastrata maupun aliran artesis merupakan mekanisme yang tidak memadai untuk sementasi, menyatakan bahwa “… mungkin sekitar 95% silika ‘sekunder’ dalam Oriskany sandstone (dan banyak, jika bukan sebagian besar, kuarsit dan rijang) sebenarnya terbentuk pada waktu yang hampir bersamaan dengan pengendapan pasir itu sendiri.” Krynine berpendapat bahwa presipitasi semen silika “berlangsung di dasar laut tidak lama setelah partikel-partikel pasir diendapkan.” Dia tidak mengajukan bukti untuk mendukung pendapatnya itu. Selain itu, tidak ditemukannya sementasi dalam pasir laut masa kini, yang berlangsung lebih kurang bersamaan dengan saat diendapkannya pasir tersebut, menyebabkan hipotesis Krynine itu tidak mendapatkan dukungan yang berupa bukti-bukti mendasar.
Air hidrotermal, terutama air di sekitar mata air panas, secara khusus sangat kaya akan silika (dengan kadar ≥ 500 ppm). Walau demikian, air seperti itu agaknya tidak memegang peranan penting dalam sementasi pasir pada skala besar, meskipun sebagian ahli (misalnya Helad, 1956b) melaporkan terjadinya sementasi felspar sekunder di dekat tubuh batuan beku.
Semen karbonat menawarkan permasalahan yang mirip dengan permasalahan yang muncul dalam kaitannya dengan semen silika. Pertanyaan-pertanyaan utama adalah sumber karbonat dan waktu pemindahannya. Air artesis mengandung karbonat larut yang kemudian dapat menjadi semen dalam batupasir.
Sebagian pasir masa kini tersemenkan secara in situ. Salah satu contohnya adalah beach rock. Walau demikian, beach rock umumnya berupa pasir karbonat dan mungkin tersemenkan oleh material yang berasal dari batuan itu sendiri. Batupasir yang tersemenkan oleh aragonit dinisbahkan pada sementasi bawahlaut sebagaimana kasus pasir yang berasal dari paparan luar di dekat Delaware (Allen dkk, 1969). Air laut yang terjebak dalam ruang-ruang pori pasir laut dapat dijenuhi oleh karbonat. Walau demikian, kuantitasnya, jika dipresipitasikan, tidak memadai untuk menyemen pasir. Banyak semen karbonat terbentuk setelah kuarsa dan, oleh karena itu, tidak seumur dengan proses sedimentasi bahkan tidak berkaitan sama sekali dengan lingkungan pengendapan pasir tersebut.
Sumber yang lebih mungkin untuk semen karbonat adalah rangka organisme yang ada dalam pasir. Rangka seperti itu dapat terlarutkan dan terpresipitasikan sebagai semen. Sementasi di sekitar rangka organisme seperti itu atau di dalam rangka bivalve (Krynine, 1940) menunjukkan proses distribusi-ulang karbonat pada skala kecil. Pressure solution partikel-partikel karbonat dalam batupasir atau dalam formasi yang berdekatan dengannya, baik yang berupa batugamping maupun batupasir, yang mungkin terjadi melalui pengangkutan air pori pada jarak dekat, agaknya merupakan penalaran paling rasional untuk menjelaskan terbentuknya semen karbonat pada tahap akhir perkembangan batuan.
Walau demikian, dalam kaitannya dengan semen, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Faktor apa yang mengontrol terbentuknya tipe-tipe semen karbonat yang beragam (aragonit, kalsit, dolomit, siderit)? Batupasir yang mengandung dua atau lebih material penyemen merupakan masalah berikutnya. Tidak ada satupun teori sementasi batupasir yang dapat menjawab masalah tersebut. Penyebaran semen memerlukan analisis lebih lanjut. Mengapa suatu pasir “ketat” di tempat ini, namun “lepas” di tempat lain? Apakah hal itu berkaitan dengan sementasi asli atau dengan desementasi yang terjadi kemudian? Jawaban yang diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan itu melibatkan pemelajaran hubungan antara kuantitas dan jenis semen dalam batupasir dengan faktor-faktor geologi utama, misalnya struktur dan arus purba. Warner (1965) menunjukkan bahwa semen dalam Duchesne River Formation (Eosen) di Pegunungan Uinta lebih banyak ditemukan di bagian “hulu” dan bahwa jenis semen (kalsit atau kuarsa) berkaitan dengan batuan sumber, dimana kalsit lebih banyak ditemukan apabila batuan sumbernya berupa batugamping. Selain itu, agaknya ada juga hubungan antara kelimpahan semen dengan struktur. Dengan demikian, jelas sudah bahwa kita perlu melakukan “pemetaan” yang lebih banyak terhadap semen batupasir.
Desementasi
Jika fluida pengisi ruang pori dan partikel padat dari suatu batupasir tidak membentuk suatu sistem tertutup, maksudnya jika fluida dapat keluar masuk atau jika ion-ion dapat berdisfusi keluar masuk, maka fluida itu selain dapat mempresipitasikan semen, juga dapat menyebabkan terlarutkannya semen. Dengan kata lain, dalam sistem seperti itu, dapat terjadi pelindian semen atau desementasi. Proses seperti itu dapat terjadi pada kasus batupasir karbonatan dalam profil pelapukan. Namun, dapatkah proses seperti itu berlangsung pada skala besar jauh di dalam bumi?
Para ahli telah menemukan bukti-bukti proses penggantian parsial kuarsa dan partikel detritus lain oleh karbonat. Jika material penyemennya berupa kuarsa dan jika ada bukti bahwa material itu terbentuk akibat penggantian matriks karbonat, maka hal itu mengindikasikan telah terjadinya penggatian karbonat dalam jumlah yang banyak. Proses penggatian material karbonat seperti itu terjadi dalam Oriskany Sandstone (Krynine, 1941). Krynine sampai pada kesimpulan tersebut setelah mengamati bahwa sejumlah kecil karbonat muncul sejalan dengan berkurangnya ruang pori serta berkeyakinan bahwa karbonat itu merupakan sisa-sisa pelindian. Jika merupakan produk pengisian parsial ruang pori, material itu akan memperlihatkan sisi-sisi euhedral pada bagian yang bebas (bagian yang mengarah ke ruang pori). Hal itu tidak ditemukan dalam Oriskany sandstone. Mungkin banyak batupasir yang relatif lepas dan batupasir yang tersemenkan kurang kurat, misalnya St. Peter Sandstone (Ordovisium) di Upper Mississippi Valley, dahulu tersemenkan oleh karbonat, namun kemudian kehilangan semen itu akibat aliran air artesis pada arah yang sama dengan arah kemiringan lapisan-lapisan batupasir tersebut. Permukaan partikel kuarsa yang teretsa dalam batupasir ini, dan batupasir lain yang mudah diremas, mungkin merupakan rekaman “penyerangan” partikel kuarsa oleh seman karbonat yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Sebagai kesimpulan, agaknya tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa tidak terjadi penghilangan material karbonat dari batupasir gampingan karena dalam banyak batugamping sering terjadi pelarutan internal. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hal itu memang dapat terjadi. Selain itu, sebagaimana pada kasus batugamping, pelarutan dapat berlangsung jauh di bawah kondisi freatik pada tempat yang terletak jauh di bawah water table. Sebagaimana batugamping, proses itu juga dapat ber-langsung secara terbalik dan ruang pori yang semula dihasilkan oleh desementasi dapat terisi kembali oleh semen baru.
7.6.3 Pelarutan Intrastrata
Selain bukti-bukti pelarutan semen, terutama karbonat, batupasir juga memperlihatkan bukti-bukti lain dari pelarutan intrastrata (intrastratal solution).
Salah satu bukti yang paling sering ditemukan adalah lapisan stilolit. Stilolit, yang umumnya diperkirakan merupakan gejala batugamping, juga muncul dalam batupasir dan kuarsit. Stilolit tidak hanya muncul sebagai mikrostilolit yang terletak diantara partikel penyusun rangka batupasir, namun juga sebagai gejala bidang perlapisan (Heald, 1955; Stockdale, 1936; Conybeare, 1949).
Stilolit dalam batupasir memperlihatkan kemiripan dengan stilolit dalam batugamping. Stilolit tampak sebagai suatu bidang yang dicirikan oleh gejala saling kesit atau interpenetrasi timbal-balik pada kedua sisinya. Tonjolan-tonjolan yang mirip dengan geligi pada satu sisi tepat berpasangan dengan soket-soket pada sisi lain. Relief stilolit bervariasi mulai dari beberapa milimeter hingga beberapa centimeter. Bidang stilolit itu sendiri dicirikan oleh suatu endapan tipis material yang relatif tidak mudah larut. Dalam batupasir, stilolit itu dapat berupa material batubaraan; dalam kuarsit, stilolit itu dapat disusun oleh oksida besi.
Bukti lebih lanjut dari pelarutan intrastara terdokumentasikan oleh penghilangan selektif beberapa spesies mineral berat tertentu. Pelarutan intrastrata terhadap mineral berat detritus diperlihatkan oleh Bramlette (1941) yang menemukan kumpulan mineral dalam konkresi gampingan dalam Modello Sandstone di California jauh berbeda dengan kumpulan mineral berat dalam batupasir yang terletak di luar konkresi itu (tabel 7-12). Masalah pelarutan intrastrata mineral berat dalam batupasir telah dibahas dalam banyak makalah, terutama makalah yang disusun oleh Pettijohn (1941), van Andel (1952; 1959), dan Weyl (1950). Adalah suatu hal yang penting untuk menentukan zonasi suatu paket endapan sedimen berdasarkan asumsi tidak terjadinya pelarutan intrastrata. Zona-zona itu mungkin merupakan zona stabilitas, bukan level stratigrafi yang sahih (Pettijohn, 1941).
Matriks
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, sebagian batupasir, khususnya graywacke, memiliki matriks yang disusun oleh material berukuran lanau dan lempung. Asal-usul dan kebenaan matriks telah dibahas oleh Cummins (1962) dan Kuenen (1966) yang menyimpulkan bahwa matriks mungkin merupakan produk diagenesis yang terbentuk melalui proses yang dinamakan graywackezation. Graywackezation pada dasarnya merupakan proses penghancuran partikel detritus yang tidak stabil. Proses itu bekerja paling efektif dalam pasir yang mengandung partikel vulkanik dalam proporsi yang tinggi, misalnya fragmen batuan afanitik dengan komposisi menengah hingga basa serta gelas. Cummins menyatakan bahwa pasir tua yang terkubur relatif dalam umumnya mengandung matriks yang jauh lebih banyak dibanding pasir yang relatif muda. Hasil penelitian itu dianggap sebagai bukti kuat yang mendukung konsep pembentukan matriks sejalan dengan bertambahnya umur batupasir. Masalah matriks ini telah dibahas panjang lebar pada bagian 7.5.3.
Partikel-Partikel yang Pecah dan Terdeformasi
Batupasir tampaknya tidak kompak sebagaimana kekompakan yang diperlihatkan oleh serpih. Walau demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian batupasir mengalami peneraan mekanis atau peneraan fisik murni terhadap pengaruh tekanan. Mika detritus berukuran besar umumnya melengkung atau melingkupi partikel kuarsa yang lebih resisten terhadap tekanan. Dalam beberapa batupasir, partikel kuarsa memperlihatkan gejala pemecahan yang ekstensif. Retakan-retakan itu memotong individu partikel; dua atau lebih retakan berpencar dari satu titik kontak antara partikel tersebut dengan partikel lain yang berdampingan dengannya. Dalam sejumlah partikel, bagian yang terpecahkan dapat sedikit terotasi, relatif terhadap partikel induk.
Secara umum, di bawah kondisi sedimentasi yang normal, bahkan dalam pasir yang terkubur dalam sekalipun—dalam pasir yang berasal dari sumur yang terletak pada kedalaman 30.000 kaki (9120 m)—partikel kuarsa mempertahankan integritasnya dan hanya memperlihatkan sedikit efek tekanan.
PETROGENESIS BATUPASIR
Kita telah meninjau berbagai sifat batupasir, penggolongannya, dan fakta-fakta lain mengenai kerabat utama batupasir serta sebagian masalah yang berkaitan dengan pembentukannya. Sekarang kita akan mencoba untuk meninjau batupasir dari kaca-mata yagn lebih besar lagi. Kita mencoba untuk memahami faktor-faktor geologi yang mengontrol pembentukan pasir dan menentukan petrografinya. Dengan kata lain, kita ingin mengetahui apa yang dapat dikatakan oleh batupasir mengenai sejarah masa lalu—tentang khuluk batuan sumber, relief dan iklim daerah sumber, sera agen pengangkutan dan lingkungan peng-endapannya.
Pasir terbentuk oleh proses-proses yang kompleks. Khuluk pasir tergantung pada kebenaan relatif dari beberap proses (gambar 7-10) Pasir mungkin dihasilkan oleh proses pelapukan (baik pelapukan mekanis maupun pelapukan kimia), oleh aktivitas gunungapi, oleh pergerakan tanah (bahkan oleh tumbukan meteorit), serta oleh aksi kimia dan biokimia. Suatu tubuh pasir mungkin dihasilkan oleh satu proses tunggal; tubuh batupasir lain mungkin dihasilkan oleh proses-proses yang kompleks dan mengandung material yang asal-usulnya beragam. Dalam beberapa kasus, produk akhir dari proses-proses tersebut, meskipun dari teksturnya jelas berupa pasir, tidak dianggap sebagai batupasir, melainkan sebagai batugamping atau tuff. Dalam bab ini kita hanya menujukan perhatian pada pasir epiklastik; pasir karbonat dan pasir vulkanik dibahas pada bab-bab tersendiri.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 1, batupasir merupakan bagian penting dari rekaman sedimen. Nilai taksiran mengenai kelimpahannya (lihat tabel 2-2) mengindikasikan bahwa batupasir membentuk 1/4 hingga 1/3 dari keseluruhan batuan sedimen. Jika kita menerima nilai taksiran yang diajukan oleh Poldervaart (1955) yang menyatakan bahwa volume total sedimen di wilayah benua adalah 176 x 106 km3, dan mengasumsikan bahwa 1/4 diantaranya berupa pasir, maka volume total dari batupasir adalah 44 x 106 km3. Volume sebanyak itu berkorespondensi dengan 120 x 1015 metrik ton.
Apa komposisi pasir itu? Komposisi mineral rata-rata dapat ditaksir dari hasil-hasil analisis kimia yang menunjukkan nilai kuarsa 59%, felspar 22%, kaolin 6%, klorit 4%, kalsit 6%, dan oksida besi 2%. Walau demikian, data tersebut tidak membedakan unsur rangka dengan semen serta tidak memungkinkan diperolehnya nilai taksiran dari prosentase fragmen batuan. Jika semua kaolin dan klorit serta 1/3 felspar dianggap hadir dalam fragmen batuan, maka batupasir yang tidak mengandung matriks (dengan mengabaikan kalsit dan oksida besi dari daftar itu) akan menghasilkan nilai taksiran kuarsa 65%, felspar 15%, dan fragmen batuan 18%.
Apa kebenaan relatif dari berbagai kerabat batupasir? Beberapa ahli (Krynine, 1948; Tallman, 1949; Middleton, 1969; Pettijohn, 1963) mengemukakan pendapatnya mengenai hal ini. Pendapat itu agak berbeda karena adanya perbedaan dalam mendefinisikan beberapa kategori batupasir serta karena adanya perbedaan dalam hal ukuran dan khuluk sampel yang menjadi bahan kajiannya. Jika graywacke berasal dari lithic arenite sebagai hasil degradasi unsur rangka (sehingga graywacke akan dimasukkan ke dalam kategori lithic sandstone), maka proporsi batupasir kuarsa akan berharga sekitar 35%, arkose 15–20%, dan lithic sandstone 45–50% (lihat tabel 7-13). Lithic sandstone merupakan tipe batupasir yang paling tinggi kelimpahannya. Lithic sandstone kenampakannya sangat mirip dengan pasir yang dewasa ini ditemukan di sungai-sungai besar, misalnya Sungai Ohio (Friberg, 1970). Dilihat dari kacamata tertentu, arkose dan batupasir kuarsa merupakan batupasir yang “tidak umum” karena pembentukan dan pengawetannya memerlukan kondisi khusus, karena provenansi arkose relatif terbatas, dan karena batupasir kuarsa memerlukan stabilitas tektonik yang khusus.
Nilai-nilai taksiran mengenai kelimpahan relatif dan kelimpahan absolut dari pasir, komposisi kimia dan komposisi mineral rata-rata, serta kelimpahan relatif beberapa tipe batupasir sangat menarik untuk dikaji oleh para ahli geokimia yang mempelajari siklus sedimen dan kesetimbangan massa sedimen dalam skala global—pemelajaran pembentukan sedimen, pengangkutannya dari daratan ke laut dan kemudian balik lagi ke daratan, serta penghancuran dan penggabungannya dengan material kerak. Meskipun hal itu menarik untuk dikaji, namun kebanyakan ahli geologi mencari jawaban-jawaban untuk berbagai pertanyaan yang sifatnya lebih transien dan khusus. Apa yang dikatakan oleh batupasir ini mengenai paleogeografi pada saat dia diendap-kan? Bagaimana tentang daerah sumber, khuluknya, iklimnya, dan reliefnya? Agen apa yang mengangkutnya dan dalam lingkungan seperti apa batupasir itu diendapkan? Prinsip-prinsip apa yang dapat kita simpulkan mengenai pembentukan dan petrografi pasir?
Faktor-faktor geologi yang mengontrol pembentukan pasir serta yang menentukan jenis pasir yang dihasilkan telah dikemukakan pada beberapa bagian dari bab ini (gambar 7-10). Secara singkat, faktor-faktor itu adalah: (1) batuan sumber; (2) iklim daerah sumber dan iklim lingkungan pengendapan; (3) lingkungan dan/atau agen pengangkutan dan pengendapan; serta (4) tektonik, baik tektonik daerah sumber maupun tektonik tempat pengendapannya. Hubungan antara faktor-faktor geologi tersebut dengan tekstur, struktur, dan komposisi batupasir sangat kompleks dan belum dapat dipahami sepenuhnya. Tidak banyak teori petrogenesis yang komprehensif dapat dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Sebagian teori itu bahkan tidak lengkap dan masih perlu diperdebatkan.
Batuan sumber dapat dipastikan memegang peranan vital dalam menentukan karakter pasir. Pasir yang dipasok oleh suatu watershed kecil yang disusun oleh batuan yang beragam berbeda satu sama lain. Hasil-hasil penelitian terhadap sungai masa kini, terutama Sungai Rhine, menunjukkan efek bedrock lokal terhadap komposisi pasir dalam sungai tersebut (Hahn, 1969; Koldewijn, 1955). Material penyusun pasir yang berasal dari terrane vulkanik riolitik (Webb & Potter, 1969) akan berbeda dengan material penyusun pasir yang berasal dari terrane granit dan gneis (Hayes, 1962). Pasir sungai yang berasal dari terrane vulkanik riolitik kekurangan akan kuarsa (semua kuarsa dalam pasir itu adalah kuarsa vulkanik) dan felspar serta melimpah akan fragmen batuan riolitik, sedangkan pasir yang berasal dari terrane granit dan gneis terutama disusun oleh kuarsa dan felspar serta mengandung sedikit bahkan mungkin tidak mengandung sama sekali fragmen batuan. Pemelajaran terhadap cekungan-cekungan sedimentasi masa kini menunjukkan bahwa mineralogi pasir mencerminkan komposisi daerah sumber. Hal itu terutama sangat jelas terlihat pada kasus kerabat mineral berat dalam pasir sebagaimana yang diperoleh oleh hasil-hasil penelitian di Gulf of Mexico (Davies & Moore, 1970) dan di Laut Utara (Baak, 1936).
Walau demikian, pasir yang berasal dari suatu daerah memiliki komposisi yang berbeda dengan batuan di daerah sumber. Sebagian mineral lebih rentan terhadap pelapukan dibanding mineral lain dan mengalami proses penghilangan secara selektif. Penghilangan itu ditentukan oleh khuluk mineral itu sendiri (Gruner, 1950). Urut-urutan penghilangan mineral telah dapat ditentukan secara empiris (Goldich, 1938). Walau demikian, penghilangan itu juga tergantung pada khuluk dan intensitas proses pelapukan serta lamanya proses itu berlangsung. Iklim sangat menentukan proses pelapukan; tektonik mengontrol relief. Di daerah berrelief rendah dan iklim hangat lembab, hanya spesies mineral yang stabil saja yang dapat selamat dari penghancuran akibat pelapukan. Pada daerah berrelief tinggi, erosi makin tinggi dan pelapukan akan terinterupsi setengah jalan sedemikian rupa sehingga spesies mineral yang tidak stabil akan dapat selamat dari penghancuran dan muncul dalam pasir. Data peng-amatan yang ada selama ini mendukung prinsip umum tersebut. Data pengamatan yang dikumpulkan oleh Krynine terhadap laju pembentukan batupasir yang sangat kaya akan felspar di daerah tropis Mexico juga mendukung konsep-konsep tersebut.
Efek agen pengangkut (angin, gelombang, sungai, dsb) serta lingkungan pengendapan (gisik, delta, gumuk, dsb) terhadap petrografi pasir relatif sedikit. Meskipun para ahli telah berusaha untuk mengaitkan parameter-parameter tekstur, pembundaran partikel, dan sifat-sifat lain dengan agen atau lingkungan pengendapan, namun hasilnya sebagian besar bersifat negatif. Hal itu antara lain terjadi karena banyak sifat partikel—besar butir, bentuk butir, kebundaran, dan komposisi—hanya sedikit terubah oleh abrasi selama terangkut. Terlebih penting lagi, banyak diantaranya merupakan “warisan” dari siklus sedimentasi sebelum-nya dan tidak mengiindikasikan lingkungan pengendapan terakhir. Meskipun banyak bukti eksperimen dan bukti lapangan mendukung pandangan tersebut, namun beberapa bukti geologi yang berlawanan menunjukkan bahwa lingkungan dapat meninggalkan jejak dalam petrografi batupasir. Folk (1960) menafsirkan fasa ortokuarsit membundar dalam Tuscacora formation (Silur) di West Virginia sebagai produk “pembersihan” pasir menyudut tanggung yang kurang matang dalam lingkungan gisik. Kellerward Quartzite (Karbon Awal), suatu pasir kuarsa murni di geosinklin Variscan, sebelah barat Sungai Rhine, ditafsirkan sebagai gosong tepi paparan—produk winnowing dan reworking graywacke (Meischner, 1971).
Gagasan yang menyatakan bahwa tektonik merupakan faktor utama yang mengontrol petrografi batupasir muncul dari hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa kematangan pasir pada kraton, atau pasir yang berasal dari kraton, jauh lebih tinggi dibanding kematangan pasir yang diendapkan dalam geosinklin, terutama pasir yang berasal dari “tectonic land.” Batupasir tipikal untuk eugeosinklin adalah graywacke; batupasir tipikal untuk kraton adalah ortokuarsit. Pasir miogeosinklin yang berasal dari kraton atau foreland umumnya ortokuasit; pasir yang berasal dari interior tectonic land adalah lithic sandstone atau gray-wacke. Dari data seperti itu, sebagian ahli kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas tektonik menentukan ciri-ciri petrografi dari batupasir. Sebagai contoh, di bagian tengah Pegunungan Appalachia, batupasir yang berasal dari barat atau dari kraton—yakni pasir Weverton dan Antietam (Schwab)—adalah ortokuarsit dan protokuarsit; pasir yang berasal dari tenggara—yakni batupasir Martinsburg (McBride, 1962), Juniata, Bald Eagle (Yeakel, 1962), Pocono (Pelletier, 1958), dan Mauch Chunk dan Pottsville (Meckel, 1967)—adalah lithic arenite atau graywacke. Pasir Tuscarora (Yeakel, 1962) yang berasal dari tenggara umumnya berupa subgraywacke atau protokuarsit, namun di beberapa tempat terubah menjadi ortokuarsit. Pasir geosinklin Coronation Gulf (Hoffman dkk, 1970) yang berasal dari kraton stabil yang terletak di sebelah timur cekungan tersebut (Hornby Channel, Kluziai di Great Slave Lake dan Western River, Odjick, dan Burnside River di daerah Epworth-Goulburn) berupa subarkose dan ortokuarsit. Pasir yang berasal dari sisi yang bersebrangan dari geosinklin itu, dan sedikit lebih muda daripadanya (Recluse di daerah Epworth dan pasir Pethei Group di Great Slave Lake) adalah graywacke.
Krynine (1942) adalah salah seorang yang pertama-tama memformulasikan suatu teori yang lengkap mengenai petro-genesis batupasir, dimana tektonik dipandang sebagai faktor utama yang mempengaruhi komposisi batupasir. Dia mengaitkan setiap tipe batupasir dengan satu jenjang daur distrofisme tertentu. Pandangan seperti itu, dengan sedikit penyempurnaan, didukung oleh ahli lain (Dapples, 1947; Dapples dkk, 1948; Pettijohn, 1943). Van Andel (1958) meninjau ulang konsep tersebut dan mencoba untuk mencari faktor-faktor geologi yang menentukan petrografi batupasir Kapur, Paleosen, dan Eosen di bagian barat Venezuela. Dia berkeyakinan bahwa material sumber (bukan tektonik) merupakan faktor dasar yang mengontrol komposisi batupasir dan bahwa lingkungan hanya menentukan tekstur dan kematangan tekstur. Dia menyatakan bahwa “tidak ada kontrol tektofasies yang sistematis terhadap tekstur dan kematangan tekstur”, kemudian menambahkan bahwa “kematangan mineralogi tidak mencerminkan tektofasies cekungan pengendapan”. Dengan demikian, petrografi batupasir lebih mencerminkan batuan sumber. Tektonik hanya berpengaruh selama tektonik itu merupakan faktor yang mengontrol relief daerah sumber.
Hingga tingkat tertentu sebagian besar peneliti beranggapan bahwa subsidensi dan pengangkatan cekungan berlangsung secara berpasangan. Asumsi seperti itu tidak sahih jika daerah sumbernya jauh dari cekungan pengendapan, misalnya saja pada kasus sebagian besar sistem sungai besar.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa secara umum petrografi batupasir (1) merupakan petunjuk yang berharga untuk mengetahui provenansi serta secara tidak langsung mengindikasikan pula iklim dan relief daerah sumber; dan (2) komposisi batupasir umumnya tidak sensitif terhadap lingkungan pengendapan. Hubungan antara karakter petrografi dengan tektonik belum dapat dipahami sepenuhnya, namun agaknya dalam banyak geosinklin ada perbedaan yang cukup berarti antara batupasir yang berasal dari foreland stabil dengan batupasir berasal dari bagian interior geosinklin (atau apa yang disebut sebagai “tectonic land”).
RUJUKAN
Adams, RW. 1970. Loyalhanna Limestone—Cross-bedding and provenance. Dalam: GW Fisher, FJ Pettijohn, JC Reed, Jr., dan KN Weaver (ed.) Studies of Appalachian Geology—Central and Southern. New York: Wiley-Interscience. Hlm. 83-100.
Allen, JRL. 1962. Petrology, origin and deposition of the higher Old Red Sandstone of Shropshire, England. Jour. Sed. Petr. 32:657-697.
Allen, RC, E Gavish, GM Friedman, dan JE Sanders. 1969. Aragonite-cemented sandstone from outer continental shelf off Delaware Bay: Submarine lithification mechanism yields product resembling beachrock. Jour. Sed. Petr. 39:136-149.
Allen, VT. 1936. Terminology of medium-grained sediments. Rept. Comm. Sedimentation, Nat. Res. Council, 1935-1936. Hlm. 18-47.
Allen, VT. 1937. A study of Missouri glauconite. Amer. Mineral. 22:842-846.
van Andel, TjH. 1952. Zur Frage der Schwermineralverwitterung in Sedimenten. Erdöl und Kohle 5:100-104.
van Andel, TjH. 1958. Origin and classification of Cretaceous, Paleocene, and Eocene sandstones of western Venezuela. Bull. AAPG 42:734-763.
van Andel, TjH. 1959. Reflections on the interpretation of heavy mineral analyses. Jour. Sed. Petr. 29:153-163.
Anderson, DW dan MD Picard. 1971. Quartz extinction in siltstone. Bull. GSA 82:181-186.
Andresen, MJ. 1961. Geology and petrology of the Trivoli Sandstone in the Illinois Basin. Illinois Geol. Surv. Circ. 316. 31 h.
Anhaeusser, CR, R Mason, MJ Viljoen, dan RP Viljoen. 1969. A reappraisal of some aspects of Precambrian Shield geology. Bull. GSA 80:2175-2200.
Ashley, GH. 1918. Notes on the greensand deposits of the eastern United States. Bull. USGS 660-B. Hlm. 27-49.
Baak, JA. 1936. Regional Petrology of the Southern North Sea. Wageningen: H. Veenman U. Zonen. 127 h.
Bailey, EH dan WP Irwin. 1959. K-feldspar content of Jurassic and Cretaceous graywacke of northern Coast Ranges and Sacramento Valley, California. Bull. AAPG 43:2797-2809.
Balk, R. 1953. The structure of graywacke areas and Tectonic Range, east of Troy, New York. Bull. GSA 64:811-864.
Barth, TFW. 1938. Progressive metamorphism of sparagmite rocks of southern Norway. Norsk Geol. Tidsskr. 18:54-65.
Barton, DC. 1916. The geological significance and genetic classification of arkose deposits. Jour. Geol. 24:417-449.
Baskin, Y. 1956. A study of authigenic feldspars. Jour. Geol. 64:132-155.
Blatt, H. 1959. Effect of size and genetic quartz type on sphericity and form of beach sediments, northern New Jersey. Jour. Sed. Petr. 29:197-206.
Blatt, H. 1966. Diagenesis of sandstones: Processes and problems. Symp. 12th Ann. Conf., Wyoming Geol. Assoc. Hlm. 63-65.
Blatt, H. 1967. Original characteristics of clastic quartz grains. Jour. Sed. Petr. 37:401-424.
Blatt, H dan JM Christie. 1963. Undulatory extinction in quartz of igneous and metamorphic rocks and its significance in provenance studies of sedimentary rocks. Jour. Sed. Petr. 33:559-579.
Bloss, FD. 1957. Anisotropy of fracture in quartz. Amer. Jour. Sci. 255:214-225.
Boggs, S, Jr. 1968. Experimental study of rock particles. Jour. Sed. Petr. 38:1326-1339.
Bokman, J. 1952. Clastic quartz particles as indices of provenance. Jour. Sed. Petr. 22:17-24.
de Booy, T. 1966. Petrology of detritus in sediments, a valuable tool. Proc. Konink. Nederl. Akad. Wetensch. Ser. B, 69:277-282.
Borg, IY dan JC Maxwell. 1956. Interpretation of fabrics of experimentally deformed sands. Amer. Jour. Sci. 254:71-81.
Boswell, PGH. 1933. On the Mineralogy of Sedimentary Rocks. London: Murby. 393 h.
Bramlette, MN. 1941. The stability of minerals in sandstone. Jour. Sed. Petr. 11:32-36.
Brenchley, PJ. 1969. Origin of matrix in Ordovician graywackes, Berwyn Hills, North Wales. Jour. Sed. Petr. 39:1297-1301.
Brett, GW. 1955. Cross-bedding in the Baraboo Quartzite of Wisconsin. Jour. Geol. 63:143-148.
Brogniart, A. 1826. De l’arkose, caractères minéralogiques et historie géonostique de cette roche. Ann. Sci. Nat. 8:113-163.
Burchard, EF. 1907. Notes on various glass sands mainly undeveloped. Bull. USGS 315:377-382.
Burst, FF. 1958. “Glauconite” pellets: Their mineral nature and applications to stratigraphic interpretation. Bull. AAPG 42:310-327.
Bushinsky, GI. 1935. Structure and origin of phosphorites of the U.S.S.R. Jour. Sed. Petr. 5:81-92.
Buttram, F. 1913. The glass sands of Oklahoma. Oklahoma Geol. Surv. Bull. 10. 91 h.
Cadigan, RA. 1967. Petrology of Morrison Formation in the Colorado Plateau region. USGS Prof. Pap. 556. 113 h.
Cameron, KL dan H Blatt. 1971. Durabilities of sand size fluvial transport, Elk Creek, Black Hills, South Dakota. Jour. Sed. Petr. 41:565-576.
Carrigy, MA dan GB Mellon. 1964. Authigenic clay mineral cements in Cretaceous and Tertiary sandstones of Alberta. Jour. Sed. Petr. 34:461-472.
Carter, CH. 1972. Miocene-Pliocene Beach and Tidal Flat Sedimentation, Southern New Jersey. Disertasi Ph.D. John Hopkins University. 186 h.
Carver, RE (ed.) 1971. Procedures in Sedimentary Petrology. New York: Wiley-Interscience. 653 h.
Cary, AS. 1951. Origin and significance of openwork gravel. Trans. ASCE 116:1296-1308.
Casshyap, SM. 1969. Petrology of the Bruce and Gowganda formations and its bearing on the evaluation of Huronian sedimentation in the Espanola-Willisville area, Ontario (Canada). Palaeogeogr. Palaeoclimat. Palaeoecol. 6:5-36.
Cayeux, L. 1929. Les Roches Sédimentaires de France: Roches Siliceuses. Paris: Imprimerie Nationale. 774 h.
Chilingar, GV. 1955. Joint occurence of glauconite and chlorite in sedimentary rocks—A review. Bull. AAPG 40:493-498.
Clarke, FW. 1924. The data of geochemistry. Bull. USGS 770. 841 h.
Cleary, WJ dan JR Conolly. 1971. Distribution and genesis of quartz in a Piedmont-Coastal Plain environment. Bull. GSA 82:2755-2766.
Clements, JM. 1903. The Vermilion iron-bearing district of Minnesota. USGS Monogr. 45. 463 h.
Cloud, PE, Jr. 1955. Physical limits of glauconite formation. Bull. AAPG 39:484-492.
Collins, WH. 1925. The north shore of Lake Huron. Geol. Surv. Canada Mem. 143. 160 h.
Colton, GW. 1970. The Appalachian Basin—Its depositional sequences and their geologic relationships. Dalam: GW Fisher, FJ Pettijohn, JC Reed, Jr., dan KN Weaver (ed.) Studies of Appalachian Geology—Central and Southern. New York: Wiley-Interscience. Hlm. 5-47.
Conolly, JR. 1965. The occurence of polycrystalline and undulatory extinction in quartz in sandstones. Jour. Sed. Petr. 35:116-135.
Conybeare, CEB. 1949. Stylolites in pre-Cambrian quartzite. Jour. Geol. 57:83-85.
Cressman, ER dan RW Swanson. 1964. Stratigraphy and petrology of the Permian rocks of southwestern Montana. USGS Prof. Pap. 313-C. Hlm. 275-569.
Crook, KAW. 1955. Petrology of graywacke suite sediments from Turon River, Coolamigal Creek district, N.S.W. Proc. Roy. Soc. New South Wales 88:97-105.
Crook, KAW. 1960. Petrology of Tamworth Group, Lower and Middle Devonian, Tamworth, Nundle district, New South Wales. Jour. Sed. Petr. 30:353-369.
Crook, KAW. 1968. Weathering and rounding of quartz sand grains. Sedimentology 11:171-182.
Crowley, AJ. 1939. Possible criterion for distinguishing marine and nonmarine sediments. Bull. AAPG 23:1716-1720.
Cummings, WA. 1962. The graywacke problem. Liverpool and Manchester Geol. Jour. 3:51-72.
Cushing, HP, F Leverett, dan F van Horn. 1931. Geology and mineral resources of the Cleveland district, Ohio. USGS Bull. 818. 138 h.
Dake, CL. 1921. The problem of the St. Peter Sandstone. Bull. Missouri School Mines and Metall. 6. 228 h.
Dapples, EC. 1947. Sandstone types and their associated depositional environments. Jour. Sed. Petr. 17:91-100.
Dapples, EC. 1972. Some concepts of cementation and lithification of sandstones. Bull. AAPG 56:3-25.
Daubrée, A. 1879. Études Synthétiques de Géologie Expérimentale. 2 jilid. Paris: Dunod. 828 h.
Davies, DK dan WR Moore. 1970. Dispersal of Mississippi sediment in the Gulf of Mexico. Jour. Sed. Petr. 40:339-353.
Davis, EF. 1918. The Franciscan sandstone. Bull. Univ. California Univ. Publ. Dept. Geol. 11:6-16.
Dickinson, WR. 1968. Singatoka dune sands, Viti Lebu (Fiji). Sed. Geol. 2:115-124.
Dickinson, WR. 1969. Evolution of calc-alkaline rocks in the geosynclinal system of California and Oregon. Proc. Andesite Conference. Bull. Oregon Dept. Geol. Min. Ind. 65. Hlm. 151-156.
Dickinson, WR. 1970. Interpreting detrital modes of graywacke and arkose. Jour. Sed. Petr. 40:695-707.
Diller, JS. 1898. The educational series of rock specimens, etc. USGS Bull. 150. 400 h.
Donaldson, JA. 1967. Two Proterozoic clastic sequences: A sedimentological comparison. Proc. Geol. Assoc. Canada 18:33-54.
Donaldson, JA dan GD Jackson. 1965. Archean sedimentary rocks of North Spirit Lake area, northwestern Ontario. Can. Jour. Earth Sci. 2:622-647.
Dott, RH, Jr. 1964. Wacke, graywacke, and matrix—What approach to immature sandstone classification? Jour. Sed. Petr. 34:625-632.
Duplaix, S. 1948. Détermination Microscopique des Minéraux des Sables. Paris-Liége: Librarie Polytech. Ch. Beranger. 80 h.
Edwards, AB. 1945. The glauconitic sandstone of the Tertiary of East Gippsland, Victoria. Proc. Roy. Soc. Victoria 57(5):153-167.
Edwards, AB. 1950a. The petrology of the Miocene sediments of the Aure Trough, Papua. Proc. Roy. Soc. Victoria 60:123-148.
Edwards, AB. 1950b. The petrology of the Cretaceous graywacke of the Purari Valley, Papua. Proc. Roy. Soc. Victoria, n.s. 60:163-171.
Ehrenberg, H. 1928. Sedimentpetrographische Untersuchungen an Nebengesteinen der Aachener Steinkohlenvorkommen. Preuss. Geol. Landesanst. Jahrb. 49:33-58.
Emery, KO. 1964. Turbidites—Precambrian to Present. Studies on Ocenography. Tokyo: Tokyo Univ. Press. 568 h.
Emery, KO. 1966. The Atlantic Continental Shelf and slope of the United States: Geologic background. USGS Prof. Pap. 529-A. Hlm. 1-23.
Engel, AEJ dan CG Engel. 1953. Grenville Series in the northwest Adirondack Mountains. Bull. GSA 64:1013-1097.
Ernst, WG dan H Blatt. 1964. Experimental study of quartz overgrowths and synthetic quartzites. Jour. Geol. 72:461-470.
Fahrig, WF. 1961. The geology of the Athabaska Formation. Bull. Geol. Surv. Canada 68. 41 h.
Fairbairn, HW. 1950. Synthetic quartzite. Amer. Mineral. 35:735-748.
Feo-Codecico, G. 1956. Heavy-mineral techniques and their application to Venezuelan stratigraphy. Bull. AAPG 40:948-1000.
Ferrar, HT. 1934. The geology of the Dargaville-Rodney Subdivision. New Zealand Geol. Surv. Bull. 34. 78 h.
Fischer, G. 1933. Die Petrographie der Grauwacken. Preuss. Geol. Landesanst. Jahrb. 54:320-343.
Folk, RL. 1951. Stages of textural maturity in sedimentary rocks. Jour. Sed. Petr. 21:127-130.
Folk, RL. 1954. The distinction between grain size and mineral composition in sedimentary-rock nomenclature. Jour. Geol. 62:344-359.
Folk, RL. 1960. Petrography and origin of the Tuscarora, Rose Hill, and Keefer formations, Lower and Middle Silurian of eastern West Virginia. Jour. Sed. Petr. 30:1-58.
Folk, RL. 1968. Petrology of Sedimentary Rocks. Austin: Hemphills. 170 h.
Folk, RL, PB Andrews, and DW Lewis. 1970. Detrital sedimentary rock classification and nomenclature for use in New Zealand. N. Z. Jour. Geol. Geophys. 13:937-968.
Foster, MD. 1969. Studies of celadonite and glauconite. USGS Prof. Pap. 614-F. 17 h.
Foster, RJ. 1960. Tertiary geology of a portion of the central Cascade Mountains, Washington. Bull. GSA 71:99-125.
Foushee, ED. 1954. A report on the flexible sandstone or itacolumite of Stokes County, North Carolina. Compass 31:78-80.
Friberg, JF. 1970. Mineralogy and Provenance of the Recent Alluvial Sands of the Ohio River Basin. Disertasi Ph.D. Indiana Univ.
Friedman, GM. 1961. Distinction between dune, beach, and river sands from their textural characteristics. Jour. Sed. Petr. 61:514-529.
Friedman, GM. 1967. Dynamic processes and statistical parameters compared for size frequency distribution of beach and river sands. Jour. Sed. Petr. 37:327-354.
Frye, JC dan A Swineford. 1946. Silicified rock in the Ogallala Formation. Bull. State Geol. Surv. Kansas, Vol. 64, Pt. 2, Hlm. 37-76.
Füchtbauer, H. 1964. Sedimentographiche Untersuchungen an der älteren Molasse nördlich der Alpen. Eclogae Géol. Helv. 57:157-298.
Füchtbauer, H. 1967a. Influence of different types of diagenesis on sandstone porosity. Proc. 7th World Petrol. Congr. Hlm. 353-369.
Füchtbauer, H. 1967b. Die Sandsteine in der Molasse nördlich der Alpen. Geol. Rundsch. 56:266-300.
Fuhrmann, W. 1968. “Sandkristalle” und Kugelsandsteine: Ihre Rolle bei der Diagenese von Sanden. Der Aufschluss 5:105-111.
Galliher, EW. 1936. Glauconite genesis. Bull. GSA 46:1351-1356.
Galliher, EW. 1939. Biotite-glauconite transformation and associated minerals. Dalam: PD Trask (ed.) Recent Marine Sediments. Tulsa: AAPG. Hlm. 513-515.
Gasser, U. 1968. Die innere Zone der subalpinen Molasse des Entlebuchs (Kt. Luzern): Geologie und Sedimentologie. Eclog. Géol. Helv. 61:229-319.
Gilbert, CM. 1949. Cementation in some California Tertiary reservoir sands. Jour. Geol. 57:1-17.
Ginsburg, L dan G Lucas. 1949. Présence de quartzites élastiques dans les grès armoricains metamorphiques de Berrien (Finistère). C. R. Acad. Sci. Paris 228:1657-1658.
Glass, HD, PE Potter, dan R Siever. 1956. Clay mineralogy of some basal Pennsylvanian sanstones, clay, and shales. Bull. AAPG 40:750-754.
Glover, JE. 1963. Studies in the diagenesis of some Western Australian sedimentary rocks. Jour. Roy. Soc. Western Australia 46:33-56.
Gluskoter, HJ. 1964. Orthoclase distribution and authigenesis in the Franciscan Formation of a portion of western Marin County, California. Jour. Sed. Petr. 34:335-343.
Goldich, SS. 1934. Authigenic feldspar in sandstone of southeastern Minnesota. Jour. Sed. Petr. 4:89-95.
Goldich, SS. 1938. A study in rock weathering. Jour. Geol. 46:17-58.
Goldman, MI. 1915. Petrographic evidence on the origin of the Catahoula Sandstone of Texas. Amer. Jour. Sci., Ser. 4, 39:261-287.
Goldman, MI. 1919. General character, mode of occurence and origin of glauconite. Jour. Wash. Acad. Sci. 9:501-502.
Goldstein, A, Jr. 1948. Cementation of the Dakota Sandstone of the Colorado Front Range. Jour. Sed. Petr. 18:108-125.
Gorbatscher, R dan O Klint. 1961. The Jotnian Mälar Sandstone of the Stockholm region. Bull. Geol. Inst. Univ. Uppsala 40:51-68.
Grabau, AW. 1904. On the classification of sedimentary rocks. Amer. Geol. 33:228-247.
Graham, WAP. 1930. A textural and petrographic study of Cambrian sandstones of Minnesota. Jour. Geol. 38:696-716.
Greenly, E. 1897. Incipient metamorphism in the Harlech Grits. Trans. Edinburgh Geol. Soc. 7:254-258.
Greensmith, JT. 1957. Lithology, with particular reference to cementation, etc. Jour. Sed. Petr. 27:405.
Griffiths, JC. 1956. Petrographical investigations of the Salt Wash sediments. US Atomic Energy Comm. Tech. Rept. RME-3122 (Pts. I and II). 84 h.
Griggs, AB. 1945. Chromite-bearing sands of the southern part of the coast of Oregon. Bull. USGS 945-E. Hlm. 113-150.
Gruner, JW. 1935. The structural relationship of glauconite and mica. Amer. Mineral. 20:699-714.
Gruner, JW. 1950. An attempt to arrange silicates in the order of reaction energies at relatively low temperatures. Amer. Mineral. 35:137-148.
Hadding, A. 1929. The pre-Quaternary sedimentary rocks of Sweden, III. The Paleozoic and Mesozoic sandstones of Sweden. Lunds Univ. Ã…rsskr., N.F., Avd. 2, vol. 25. 287 h.
Hadding, A. 1932. The pre-Quaternary sedimentary rocks of Sweden, IV. Glauconite and glauconitic rocks. Medd. Lunds Geol. Min. Inst. No. 51. 175 h.
Hadley, DG. 1968. The Sedimentology of the Huronian Lorrain Formation, Ontario and Quebec, Canada. Disertasi Ph.D. Johns Hopkins Univ. 301 h.
Hahn, C. 1969. Mineralogisch-Sedimentpetrographische Untersuchungen an den Flussbettsanden im Einzugsbereich des Alpenrheins. Eclog. Géol. Helv. 62:227-278.
Hamblin, WK. 1962. X-ray radiography in the study of structures in homogeneous sediments. Jour. Sed. Petr. 32:201-210.
Harms, JC. 1969. Hydraulic significance of some sand ripples. Bull. GSA 80:363-396.
Hawkins, JW, Jr and JT Whetten. 1969. Graywacke matrix minerals: Hydrothermal reactions with Columbia River sediments. Science 166:868-870.
Hay, RL. 1966. Zeolites and zeolite reactions in sedimentary rocks. GSA Spec. Pap. 85. 130 h.
Hayes, JR. 1962. Quartz and feldspar content in South Platte, Platte, and Missouri river sands. Jour. Sed. Petrol. 32:793-800.
Heald, MT. 1950. Authigenesis in West Virginia sandstones. Jour. Geol. 58:624-633.
Heald, MT. 1955. Stylolites in sandstone. Jour. Geol. 63:101-114.
Heald, MT. 1956a. Cementation of Simpson and St. Peter sandstones in parts of Oklahoma, Arkansas, and Missouri. Jour. Geol. 64:16-30.
Heald, MT. 1956b. Cementation of Triassic arkose in Connecticut and Massachusetts. Bull. GSA 67:1133-1154.
Heald, MT dan JJ Renton. 1966. Experimental study of sandstone cementation. Jour. Sed. Petr. 36:977-991.
Helmbold, R. 1952. Beitrag zur Petrographie der Tanner Grauwacken. Heidelberg Beitr. Min. Petrog. 3:253-288.
Henderson, JB. 1972. Sedimentology of Archean turbidites at Yelloknife, Northwest Territories. Can. Jour. Earth Sci. 9:882-902.
Henningsen, D. 1961. Untersuchungen über Stoffbestand und Päleogeographie der Giessener Grauwacke. Geol. Rundsch. 51:600-626.
Hoffman, PF, JA Fraser, dan JC McGlynn. 1970. The coronation Gulf Geosyncline of Aphebian age, District of Mackenzie. Geol. Surv. Canada Paper 70-40. Hlm. 201-212.
Hollister, CD dan BC Heezen. 1964. Modern graywacke-type sands. Science 146:1573-1574.
Holmes, A. 1928. The Nomenclature of Petrology. edisi-2. London: Murby. 284 h.
Hopkins, ME. 1958. Geology and petrology of the Anvil Rock Sandstone of southern Illinois. Illinois Geol. Surv. Circ. 256. 48 h.
Hoppe, W. 1927. Beiträge zur Geologie und Petrographie des Buntsandsteins im Odenwald II. Notizbl. Vereinst. Erdkunde, Hessischen Geol. Landesanstalt, Ser. 5, 10:54-103.
Hoque, M. ul. 1968. Sedimentologic and paleocurrent study of the Mauch Chunk sandstones (Mississippian) of south-central and western Pennsylvania. Bull. AAPG 52:246-263.
Hsu, KJ. 1960. Texture and mineralogy of the Recent sands of the Gulf Coast. Jour. Sed. Petr. 30:380-403.
Hubert, JF. 1960. Petrology of the Fountain and Lyons formations, Front Range, Colorado. Colorado School of Mines Quart. 55:1-242.
Huckenholtz, HG. 1963. Mineral composition and texture in graywackes from the Harz Mountains (Germany) and arkoses from the Auvergne (France). Jour. Sed. Petr. 33:914-918.
Hunter, RE. 1967. The petrography of some Illinois Pleistocene and Recent sands. Sed. Geol. 1:57-75.
Ingerson, E dan JL Ramisch. 1942. Origin of shapes of quartz sand grains. Amer. Mineral. 27:595-606.
Irving, RD dan CR van Hise. 1884. On secondary enlargements of mineral fragments in certain rocks. USGS Bull. 8. 56 h.
Jacobsen, L. 1959. Petrology of Pennsylvanian sandstones and conglomerates of the Ardmore Basin. Oklahoma Geol. Surv. Bull. 79. 144 h.
Johnson, RH. 1920. The cementation process in sandstone. Bull. AAPG 4:33-35.
Keith, ML. 1949. Sandstone as a source of silica sands in southeastern Ontario. Ontario Dept. Mines Ann. Rept. vol. 55, pt. 5. 36 h.
Keller, WD dan RF Littlefield. 1950. Inclusions in quartz of igneous and metamorphic rocks. Jour. Sed. Petr. 20:74-84.
Kennedy, WQ. 1951. Sedimentary differentiation as a factor in the Moine-Torridonian correlation. Geol. Mag. 88:257-261.
Ketner, KB. 1966. Comparison of Ordovician eugeosynclinal and miogeosynclinal quartzites of the Cordilleran geosyncline. USGS Prof. Pap. 550-C. Hlm. C54-C60.
Klein, GdeV. 1963. Analysis and review of sandstone classification in the North American geological literature. Bull. GSA 74:555-576.
Klovan, JE dan JT Solohub. 1968. Grain-size parameters: A critical evaluation of their significance. GSA Progr. with Abstr., Ann. Mtg. Mexico City. Hlm. 161-162.
Koldewijn, BW. 1955. Provenance, transport, and deposition of Rhine sediments. II. An examination of the light fraction. Geol. Mijb. (n.s.) 17:37-45.
Krumbein, WC dan FJ Pettijohn. 1938. Manual of Sedimentary Petrography. New York: Plenum. 549 h.
Krynine, PD. 1935. Arkose deposits in the humid tropics: A study of sedimentation in southern Mexico. Amer. Jour. Sci., Ser. 5, 29:353-363.
Krynine, PD. 1937. Petrography and genesis of the Siwalik series. Amer. Jour. Sci., Ser. 5, 34:422-446.
Krynine, PD. 1940. Petrology and genesis of the Third Bradford Sand. Bull. Pennsylvania State Coll. Min. Ind. Exp. Sta. 29. Hlm. 13-20.
Krynine, PD. 1941. Petrographic studies of variations in cementing materials in the Oriskany Sand. Proc. 10th Pennsylvania Min. Ind. Conf. Bull., Pennsylvania State Coll. 33:108-116.
Krynine, PD. 1942. Differential cementation and its products during one complete geosynclinal cycle. Ann. Congr. Panamer. Ing. Minas Geol., Pt. 1, v. 2, hlm. 536-561.
Krynine, PD. 1945. Sediments and the search for oil. Producer Monthly 9(3):12-22.
Krynine, PD. 1946a. The tourmaline group in sediments. Jour. Geol. 54:65-87.
Krynine, PD. 1946b. Microscopic morphology of quartz types. Ann. 2nd Congr. Panamer. Ing. Minas Geol. v.3, Hlm. 35-49.
Krynine, PD. 1948. The megascopic study and field classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:130-165.
Krynine, PD. 1950. Petrology, stratigraphy and origin of the Triassic sedimentary rocks of Connecticut. Bull. Connecticut State Geol. Nat. Hist. Surv. 73. 247 h.
Krynine, PD dan OF Tuttle. 1941. Petrology of the Ordovician-Silurian boundary in central Pennsylvania (abstr.). Bull. GSA 52:1917-1918.
Kuenen, PH. 1942. Pitted pebbles. Leidsche Geol. Meded. 13:189-201.
Kuenen, PH. 1957. Some experiments on fluviatile rounding. Proc. Konink. Nederl. Akad. Wetensch., Ser. B, 61(1):47-53.
Kuenen, PH. 1959a. Sand—Its origin, transportation, and accumulation. Geol. Soc. South Africa, Annexure, 62. 33 h.
Kuenen, PH. 1959b. Experimental abrasion 3. Fluviatile action of sand. Amer. Jour. Sci. 257:172-190.
Kuenen, PH. 1960. Experimental abrasion 4. Eolian action. Jour. Geol. 68:427-449.
Kuenen, PH. 1966. Matrix of turbidites: Experimental approach. Sedimentology 7:267-297.
Kuenen, PH dan CI Migliorini. 1950. Turbidite currents as a cause of graded bedding. Jour. Geol. 58:91-127.
Lahee, FH. 1941. Field Geology. edisi-5. New York: McGraw-Hill. 883 h.
Laniz, RV, RE Stevens, dan MN Norman. 1964. Staining of plagioclase feldspar and other minerals. USGS Prof. Pap. 501-B. Hlm. B152-B153.
Leith, CK dan WJ Mead. 1915. Metamorphic Geology. New York: Holt, Rinehart and Winston. 337 h.
Leith, CK dan CR van Hise. 1911. The geology of Lake Superior region. USGS Monogr. 52. 641 h.
Lerbekmo, JF. 1963. Petrology of the Belly River Formation, southern Alberta foothills. Sedimentology 2:54-86.
Loney, RA. 1964. Stratigraphy and petrography of the Pybus-Gambier area, Admiralty Island, Alaska. Bull. USGS 1178. 103 h.
Lovell, JPB. 1969. Tyee Formation: A study of proximality in turbidites. Jour. Sed. Petr. 39:935-953.
McBride, EF. 1962. Flysch and associated beds of the Martinsburg Formation (Ordovician), central Appalachians. Jour. Sed. Petr. 32:39-91.
McBride, EF. 1963. Classification of common sandstones. Jour. Sed. Petr. 33:664-669.
McBride, EF. 1966. Sedimentary petrology and history of the Haymond Formation (Pennsylvanian), Marathon Basin. Univ. Texas Bur. Econ. Geol. Rept. Inv. 57. 101 h.
McBride, EF, WL Lindermann, and PS Freeman. 1968. Lithology and petrology of the Gueydan (Catahoula) Formation in south Texas. Univ. Texas Bur. Econ. Geol. Rept. Inv. 63. 122 h.
McEwen, MC, FW Fessenden, dan JJW Rogers. 1959. Texture and composition of some weathered granites and slightly transported arkosic sands. Jour. Sed. Petr. 29:477-492.
Mackie, W. 1896. The sands and sandstones of eastern Moray. Trans. Edinburgh Geol. Soc. 7:148-172.
Mackie, W. 1899. The feldspar present in sedimentary rocks as indications of the conditions of contemporaneous climate. Trans. Edinburgh Geol. Soc. 7:443-468.
Mackie, W. 1905. Seventy chemical analyses of rocks. Trans. Edinburgh Geol. Soc. 8:33-60.
Mansfield, GR. 1920. The physical and chemical character of New Jersey greensand. Econ. Geol. 15:547-566.
Mansfield, GR. 1922. Potash in the greensands of New Jersey. USGS Bull. 727. 146 h.
Marchese, HG dan CA Garrasino. 1969. Clasificacion descriptiva de areniscas. Rev. Asoc. Geol. Argentina 24(3):281-286.
Markewicz, FJ. 1969. Ilmenite deposits of the New Jersey Coastal Plain. Dalam: S Subitzky (ed.) Geology of Selected Areas in New Jersey and Eastern Pennsylvania and Guidebook of Excursions. New Brunswick: Rutgers Univ. Press. Hlm. 363-382.
Martens, JHC. 1928. Beach deposits of ilmenite, zircon and rutile in Florida. Florida State Geol. Surv. 19th Ann. Rept. Hlm. 124-154.
Martens, JHC. 1935. Beach sands between Charleston, South Carolina, and Miami, Florida. Bull. GSA 46:1563-1596.
Mathur, SM. 1958. On the term “Orthoquartzite”. Eclogae Géol. Helv. 51:695-696.
Matisto, A. 1968. Die Meta-Arkose von Mauri bei Tempere. Bull. Comm. Geol. Finlande 235:4-20.
Mattiat, B. 1960. Beitrag zur Petrographie der Oberharzer Kulmgrauwacke. Beitr. Min. Petrogr. 7:242-280.
Maxwell, JC. 1960. Experiments on compaction and cementation of sand. Dalam: D Griggs dan J Handin (ed.) Rock Deformation. GSA Mem. 79. Hlm. 105-132.
Maxwell, JC. 1964. Influence of depth, temperature, and geologic age on porosity of quartzose sandstone. Bull. AAPG 48:697-709.
Maxwell, JC dan P Verrall. 1954. Low-porosity may limit oil in deep sands. World Oil 138(5):106-113; (6):102-104.
Meckel, LD. 1968. Origin of Pottsville conglomerates (Pennsylvanian) in the central Appalachians. Bull. GSA 78:223-258.
Meischner, D. 1971. Clastic sedimentation in the Variscan Geosyncline east of the River Rhine. Dalam: G Müller (ed.) Sedimentology of Parts of Central Europe. Guidebook 8th Int. Sed. Congr., Heidelberg. Hlm. 9-43.
Mellon, GB. 1964. Discriminatory analysis of calcite- and silicate-cemented phases of the Mountain Park Sandstone. Jour. Geol. 72:786-809.
Merrill, GP. 1891. Stones for Building and Decoration. New York: Wiley. 551 h.
Middleton, GV. 1960. Chemical composition of sandstones. Bull. GSA 71:1011-1026.
Millot, G, J Lucas, dan R Wrey. 1963. Research on evolution of clay minerals and argillaceous and siliceous neoformation. Clay and Clay Minerals 10th Conference. Hlm. 399-412.
Milner, HB. 1962. Sedimentary Petrography. 2 jilid. New York: Macmillan. 643 + 715 h.
Mizutani, S dan K Suwa. 1966. Orthoquartzitic sand from the Libyan Desert, Egypt. Jour. Earth Sci., Nagoya Univ. 14:137-150.
Moiola, RJ dan D Weiser. 1968. Textural parameters: An evaluation. Jour. Sed. Petr. 38:45-53.
Moss, AJ. 1966. Origin, shaping, and significance of quartz sand grains. Jour. Geol. Soc. Australia 13:97-136.
Muller, G. 1964. Methoden der Sedimentuntersuchungen. Stuttgart: E. Schweizerbart’sche Verlagsbuchhandlung. 303 h.
Nanz, RH, Jr. 1954. Genesis of Oligocene sandstone reservoir, Seeligson Field, Jim Wells and Kleberg counties, Texas. Bull. AAPG 38:96-117.
Ojakangas, RW. 1963. Petrology and sedimentation of the Upper Cambrian Lamotte Sandstone in Missouri. Jour. Sed. Petr. 33:860-873.
Okada, H. 1960. Sandstones of the Cretaceous Mifune Group, Kyushu, Japan. Kyushu Univ. Mem. Fac. Sci., Ser. D (Geology) 10:1-40.
Okada, H. 1961. Cretaceous sandstones of Goshonoura Island, Kyushu, Japan. Kyushu Univ. Mem. Fac. Sci., Ser. D (Geology) 11:1-48.
Okada, H. 1967. Composition and cementation of some Lower Paleozoic grits in Wales. Kyushu Univ. Mem. Fac. Sci., Ser. D (Geology) 18:261-276.
Okada, H. 1971. Classification of sandstone: Analysis and proposal. Jour. Geol. 79:509-525.
Ondrick, CW dan JC Griffiths. 1969. Frequency distribution of elements in Rensselaer Graywacke, Troy, New York. Bull. GSA 80:509-518.
Oriel, SS. 1949. Definitions of arkose. Amer. Jour. Sci. 247:824-829.
Payne, TG, dkk. 1952. The Arctic slope of Alaska. USGS, Oil and Gas Invest. Map, O. M. 126. Sheet 2.
Pelletier, BR. 1958. Pocono paleocurrents in Pennsylvania and Maryland. Bull. GSA 69:1033-1064.
Pettijohn, FJ. 1941. Persistence of heavy minerals and geologic age. Jour. Geol. 49:610-625.
Pettijohn, FJ. 1943. Archean sedimentation. Bull. GSA 54:925-972.
Pettijohn, FJ. 1948. A preface to the classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:112-118.
Pettijohn, FJ. 1949. Sedimentary Rocks. New York: Harper & Row. 526 h.
Pettijohn, FJ. 1954. Classification of sandstones. Jour. Geol. 62:360-365.
Pettijohn, FJ. 1963. Chemical composition of sandstones—excluding carbonate and volcanic sands. Dalam: Data of Geochemistry. edisi-6. USGS Prof. Pap. 440-S. 19 h.
Pettijohn, FJ, PE Potter, dan R Siever. 1972. Sand and Sandstone. New York; Springer. 618 h.
Pittman, ED. 1963. Use of zoned plagioclase as an indicator of provenance. Jour. Sed. Petr. 33:380-386.
van der Plas, L. 1966. The Identification of the Detrital Feldspar. Amsterdam: Elsevier. 305 h.
Plumley, WJ. 1948. Black Hills terrace gravels: A study in sediment transport. Jour. Geol. 56:526-577.
Poldervaart, A. 1955. Chemistry of the earth’s crust. Dalam: A Poldervaart (ed.) Crust of the Earth—A Symposium. GSA Spec. Pap. 62. Hlm. 119-144.
Potter, PE. 1963. Late Paleozoic sandstone of the Illinois Basin. Illinois Geol. Surv. Rept. Invest. 217. 92 h.
Potter, PE dan FJ Pettijohn. 1963. Paleocurrents and Basin Analysis. New York: Springer. 296 h.
Pye, WD. 1944. Petrology of the Bethel Sandstone of south-central Illinois. Bull. AAPG 28:63-122.
Ramdohr, P. 1958. New observations on the ores of the Witwatersrand in South Africa and their genetic significance. Trans. Geol. Soc. South Africa, vol. 61, annexure. 50 h.
Ramez, MRH dan FH Mosalamy. 1969. The deformed nature of various size fractions in some clastic sands. Jour. Sed. Petr. 39:1182-1187.
Reed, JJ. 1957. Petrology of the lower Mesozoic rocks of the Wellington District. Bull. N. Z. Geol. Surv. (n.s.) 57. 60 h.
Reed, RD. 1928. The occurence of feldspar in California sandstones. Bull. AAPG 12:1023-1024.
Rickard, MJ. 1964. Metamorphic tourmaline overgrowths in the Oak Hill Series of southern Quebec. Canad. Mineral. 8:86-91.
Rimsaite, J. 1967. Optical heterogeneity of feldspar observed in diverse Canadian rocks. Schweiz. Min. Petrog. Mitt. 47:61-76.
Rinne, F. 1923. Gesteinskunde. Leipzig: Dr. Max Jänecke. 374 h.
Rittenhouse, G. 1944. Sources of modern sands in the middle Rio Grande Valley. Jour. Geol. 52:145-183.
Rittenhouse, G. 1949. Petrology and paleogeography of Greenbrier Formation. Bull. AAPG 33:1704-1730.
Rodgers, J. 1950. Nomenclature and classification of sedimentary rocks. Amer. Jour. Sci. 248:297-311.
Ronov, AB, MS Mikhailovskaya, dan II Solodkova. 1963. Evolution of the chemical and mineralogical composition of arenaceous. Dalam: AP Vinogradov (ed.) Chemistry of the Earth. Israel Program Sci. Trans. 1966. Vol. 1. Hlm. 212-262.
Rothrock, EP. 1944. A geology of South Dakota. Bull. South Dakota Geol. Surv. No. 15. 255 h.
Russell, RD. 1935. Frequency percentage determinations of detrital quartz and feldspar. Jour. Sed. Petr. 5:109-114.
Russell, RD. 1937. Mineral composition of Mississippi River sands. Bull. GSA 48:1307-1348.
Russell, RD. 1942. Tables for the determination of detrital minerals. Rept. Committee on Sedimentation 1940-1941. Div. Geol. Geogr., Nat. Res. Council. Hlm. 6-8.
Russell, RD dan RE Taylor. 1937. Roundness and shape of Mississippi River sands. Jour. Geol. 45:225-267.
Sabins, FF, Jr. 1962. Grains of detrital, secondary, and primary dolomite from Cretaceous strata of the Western Interior. Bull. GSA 73:1183-1196.
Schlee, J, E Uchupi, and JVA Turnbull. 1964. Statistical parameters of Cape Cod beach and eolian sands. USGS Prof. Pap. 501-D. Hlm. 118-122.
Schneider, H. 1927. A study of glauconite. Jour. Geol. 35:299-310.
Schwab, FL. 1970. Origin of the Antietam formation (Late Precambrian-Lower Cambrian), central Virginia. Jour. Sed. Petr. 40:354-366.
Schwartz, GM. 1942. Correlation and metamorphism of the Thomson Formation, Minnesota. Bull. GSA 52:1001-1020.
Sestini, G. 1970. Flysch facies and turbidite sedimentology. Sed. Geol. 4:559-597.
Sheppard, RA. 1971. Clitoptilolite of possible economic value in sedimentary deposits of the coterminous U.S. Bull. USGS 1332-B:B1-B15.
Shiki, T. 1959. Studies on sandstones in the Maizuru Zone, southwest Japan. I. Importance of relations between mineral composition and grain size. Mem. College Sci., Univ. Kyoto 25:239-246.
Shiki, T. 1962. Studies on sandstones in the Maizuru Zone, southwest japan. III. Graywacke and arkose sandstones in and out of the Maizuru Zone. Mem. College Sci., Univ. Kyoto 29:291-324.
Shrock, RR. 1946. Classification of sedimentary rocks. Bull. GSA 57:1231.
Shrock, RR. 1948. Classification of sedimentary rocks. Jour. Geol. 56:118-120.
Siever, R. 1959. Petrology and geochemistry of silica cementation in some Pennyslvanian sandstone. Dalam: HA Ireland (ed.) Silica in Sediments. SEPM Spec. Pub. 7. Hlm. 55-79.
Siever, R, KC Beck, and RA Berner. 1965. Composition of interstitial waters of modern sediments. Jour. Geol. 73:39-73.
Simonen, A dan O Kuovo. 1951. Archean varved schists north of Tampere in Finland. Soc. Geol. Finlande, Compte Rendus 24:93-117.
Simonen, A dan O Kuovo. 1955. Sandstones in Finland. Bull. Comm. Geol. Finlande 168:57-87.
Sippel, RF. 1968. Sandstone petrology, evidence from luminescence petrography. Jour. Sed. Petr. 38:530-554.
Skolnick, H. 1965. The quartzite problem. Jour. Sed. Petr. 35:12-21.
Sloss, LL and DE Feray. 1948. Microstylolites in sandstone. Jour. Sed. Petr. 18:3-13.
Smith, ER. 1946. Sand. Indiana Acad. Sci. 55:121-143.
Sorby, HC. 1880. On the structure and origin of non-calcareous stratified rocks. Proc. Geol. Soc. London 36:62-64.
Stauffer, PH. 1967. Grain-flow deposits and their implications, Santa Ynez Mountains, California. Jour. Sed. Petr. 37:487-508.
Stebinger, E. 1914. Titaniferous magnetite beds on the Blackfeet Indian Reservation, Montana. Bull. USGS 540. Hlm. 329-337.
Suttner, LJ. 1969. Stratigraphic and petrographic analysis of Upper Jurassic-Lower Cretaceous Morrison and Kootenai formations, southwest Montana. Bull. AAPG 53:1391-1410.
Swineford, A. 1947. Cemented sandstones of the Dakota and Kiowa formations in Kansas. Bull. State Geol. Surv. Kansas. Vol. 70. Pt. 4. Hlm. 53-104.
Takahashi, J. 1939. Synopsis of glauconitization. Dalam: PD Trask (ed.) Recent Marine Sediments. AAPG. Hlm. 503-512.
Taliaferro, NL. 1943. Franciscan-Knoxville problem. Bull. AAPG 27:109-219.
Tallman, SL. 1949. Sandstone types, their abundance and cementing agents. Jour. Geol. 57:582-591.
Taylor, JM. 1950. Pore-space reduction in sandstones. Bull. AAPG 34:701-716.
Thiel, GA. 1935. Sedimentary and petrography analysis of the St. Peter Sandstone. Bull. GSA 46:559-614.
Thiel, GA. 1940. The relative resistance to abrasion of mineral grains of sand size. Jour. Sed. Petr. 10:103-124.
Thiel, GA dan CE Dutton. 1935. The architectural, structural, and the monumental stones of Minnesota. Bull. Minnesota Geol. Surv. 25. 160 h.
Thomson, A. 1959. Pressure solution and porosity. Dalam: HA Ireland (ed.) Silica in Sediments. SEPM Spec. Pub. 7. Hlm. 92-111.
Tickell, FG. 1965. The Techniques of Sedimentary Mineralogy. Amsterdam: Elsevier. 220 h.
Tieje, AJ. 1921. Suggestions as to the descripition and naming of sedimentary rocks. Jour. Geol. 29:650-666.
Todd, TW dan RL Folk. 1957. Basal Claiborne of Texas, record of Appalachian tectonism during Eocene. Bull. AAPG 41:2545-2566.
Towe, KM. 1962. Clay mineral diagenesis as a possible source of silica cement in sedimentary rocks. Jour. Sed. Petr. 32:26-28.
Trurnit, P. 1968. Pressure solution phenomena in detrital rocks. Sed. Geol. 2:89-114.
Turner, FJ dan J Verhoogen. 1960. Igneous and Metamorphic Petrology. New York: McGraw-Hill. 694 h.
Tyrrell, GW. 1933. Greenstones and greywackes. Reunion Intern, pour l’etude du Precambrian 1931, Compte Rendus. Hlm. 24-26.
Udden, JA. 1914. Mechanical composition of clastic sediments. Bull. GSA 25:655-744.
Van Hise, CR. 1904. Treatise on metamorphism. USGS Monogr. 47. 1286 h.
Vitanage, PW. 1957. Studies of zircon types in Ceylon Pre-Cambrian complex. Jour. Geol. 65:117-138.
Voll, G. 1960. New work on petrofabrics. Liverpool and Manchaster Geol. Jour. Vol. 2. Pt. 3. Hlm. 503-567.
Waldschmidt, WA. 1941. Cementing materials in sandstones and their influence on the migration of oil. Bull. AAPG 25:1839-1879.
Walker, RG dan FJ Pettijohn. 1971. Archean sedimentation: Analysis of the Minnitaki Basin, northwestern Ontario, Canada. Bull. GSA 82:2099-2130.
Walton, EK. 1955. Silurian graywackes of Peebleshire. Proc. Roy. Soc. Edinburgh 65:327-357.
Warner, MM. 1965. Cementation as a clue to structure, drainage, patterns, permeability, and other factors. Jour. Sed. Petr. 35:797-804.
Washington, HS. 1930. The Chemical Analysis of Rocks. edisi-4. New York: Wiley. 296 h.
Wayland, RG. 1939. Optical orientation in elongate clastic quartz. Amer. Jour. Sci. 237:99-109.
Webb, WM dan PE Potter. 1969. Petrology and chemical composition of modern detritus derived from a rhyolitic terrain, western Chihuahua. Bull. Soc. Geol. Mexicana 32(1):45-61.
Weber, JN dan GV Middleton. 1961. Geochemistry of turbidites of the Normanskill and Charny formations. Geochim. Cosmochim. Acta 22:200-288.
Weeks, AD dan DH Eargle. 1963. Relation of the diagenetic alteration and soil-forming processes to the uranium deposits of the southeast Texas Coastal Plain. Dalam: Clay and Clay Mineral 10th Conference. New York: Macmillan. Hlm. 23-41.
Wermund, EG. 1964. Geologic significance of fluvial-detrital glauconite. Jour. Geol. 72:470-476.
Weyl, R. 1960. Schwermineralverwitterung und ihr Einfluss auf die Mineralführung klastischer Sedimente. Erdöl und Kohle 3(5):209-211.
Whetten, JT. 1966. Sediments from the lower Columbia River and origin of graywacke. Science 152:1057-1058.
Whetten, JT, JC Kelley, dan L Hanson. 1969. Characteristics of Columbia River sediment and sediment transport. Jour. Sed. Petr. 39:1149-1166.
White, DE, JG Hem, dan GA Waring. 1963. Chemical composition of subsurface waters. USGS Prof. Pap. 440-F. 67 h.
Wiesnet, DR. 1961. Composition, grain size, roundness and sphericity of the Postdam Sandstone (Cambrian) in northeastern New York. Jour. Sed. Petr. 31:5-14.
Williams, H. 1957. Glowing avalanche deposits of the Sudbury Basin. Ontario Dept. Mines, Ann. Rept. Vol. 65. Pt. 2. Hlm. 57-89.
Winchell, NH, US Grant, JE Todd, W Upham, dan HV Winchell. 1899. Geology of Minnesota. Geol. Nat. Hist. Surv. Minnesota, Final Rept. Vol. IV. 630 h.
Wolf, KH. 1971. Textural and compositional transitional stages between various lithic grain types. Jour. Sed. Petr. 41:328-332.
Woodland, AW. 1938. Petrological studies in the Harlech Grit series of Merionethshire II. Geol. Mag. 74:440-454.
Wurster, P. 1964. Geologie des Schilfsandstein. Hamburg Mitt. Geol. Staatsinst. Vol. 33. 140 h.
Yeakel, LS. Jr. 1962. Tuscarora, Juniata, and Bald Eagle paleocurrents and paleogeography in central Appalachians. Bull. GSA 73:1515-1540.
Penutup
Sekian Penjelasan Singkat Mengenai Batuan Sedimen (Pettijohn, 1975): PASIR DAN BATU PASIR. Semoga Bisa Menambah Pengetahuan Kita Semua.